"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Thursday, September 29, 2005

I just moved to the new better boarding house

Aku ga nyangka dengan menceritakan kondisi kost ku sama tanteku membuat dia mau memberi subsidi untuk aku agar mendapat kost yang jauh lebih baik. aku semula ga percaya, kupikir dia sekedar basa-basi ternyata dia benar-benar berkomitmen untuk memberi subsidi kost setiap bulan sampe aku lulus. Hehe3x gimana ga senang, tanpa pikir panjang aku langsung mencari rumah kost yang jauh lebih baik. aku minta tolong Reza presiden BPPM yang lebih mengerti seluk beluk lingkungan sekitar kampus, kami sempat berputar-putar dan hanya menemukan satu yang lumayan lbih jauh dari tempat kost ku yang awal, tadinya aku sudah sreg dengan kamar itu tapi berhubung pemiliknya sedang ga ada dirumah, ya udah transaksi belum dijalankan. Sempat kucatat nomor teleponnya tapi ternyata yang kutelpon salah sambung.
Akhirnya esoknya aku segera menuju tempat rumah kost yang sudah kuminati, tapi begitu aku melewati gang yang dikenal dengan gang masjid aku melihat iklan kost. Rumah ini adalah rumah yang pertama kali ku tanyakan dengan Reza waktu kemarin ini belum kosong tapi sehari saja sudah lewat katanya penghuni sebelumnya terburu-buru mendadak harus pulang ke kampung halaman. Dua kamar kosong, dan yang kupilih yang paling depan dengan pintu sendiri, tidak perlu masuk lagi ke dalam rumah, penunggu kostnya adalah bapak tua penduduk asli setempat. Bapak itu cukup ramah, dan dia awalnya memberi pilihan kamar yang didalam karena sudah dibereskan sementara yang didepan karena baru saja ditinggalkan belum dibereskan. Ya udah kubilang gpp aku tunggu beberapa hari sementara di kamar itu, dan kuminta komitmennya untuk menyelesaikan kamar itu dengan segera jangan sampai satu minggu. Bapak itu sepakat, ku panjar langsung siang itu dengan uang yang ada sekedarnya di dompet aku daripada direbut orang karena lokasi dan kamarnya yang strategis lagipula fasilitasnya lemari, meja computer, kasur, kulkas, tv , telepon kamar mandi dua untuk 6 kamar dan aku bisa request warna cat, kupesan warna biru langit seperti kamar bobrok yang kusulap jadi bagus di asrama itung-itung nostalgia. aku pikir harganya cukup dengan fasilitas selengkap itu
Esoknya ketika kiriman sampai malamnya aku langsung bayar dan pindah malam itu juga, dengan mengkoordinir beberapa kawan-kawan aku untuk membantu memindahkan barang-barangku yang cukup banyak. Aku ga tau apa yang aku buat sama mereka sehingga setiap kawan kost ku menanyakan apa yang bisa mereka Bantu dengan serius bukan basa-basi sehingga sampe kubilang, tenang semua dapat giliran. Karena mereka sudah membantu dan aku merasa tidak etis kalau memberi mereka uang, apa beda kuperlakukan mereka seperti kuli?
Akhirnya dengan berat hati kuberikan sebuah buku yang bahkan belum pernah kuselesaikan “Neoliberalisme menumpas petani” resminya untuk Andry, tapi ya sudah kubilang ini milik Andri tapi baca-sama-sama yah. Jack yang sudah pindah pun mau membantuku membawa motor untuk membawa monitor 17” yang bisa membuat tangan gemetar setelah mengangkatnya waktu aku bawa pertama kali dari toko juga CPU yang lumayan enteng tapi capek juga kalo dibawa jalan kaki.
Untuk Jack karena dia ga suka baca dan hobi makan, Sepiring nasi goring sudah membuatnya kenyang. Ketika malam hari ternyata Said yang kost di depan kostan lamaku, teriak “woi mo kemana lu my bawa bungkusan n carrier segala?” ku jawab pindah. Ada yang perlu gue Bantu ga? Wah ada Id, gue harus bawa kasur dan ga mungkin jalan kaki. Dia kemudian menawarkan mengantarku dengan sepeda motornya sambil ngoceh2 “ngomong dong kalo perlu bantuan jangan diam aja”, ku jawab “sori id gue ga tau lo ada di kost”.
Akhirnya malam itu beberapa perlengkapan primer sudah terbawa dan sekarang yang tinggal hanya beberapa pakaian dan perabotan yang ga gitu penting. malam kedua aku kembali ke tempat kost bersama Angga junior di jurusanku untuk mengambil sisa-sisa barang, angga memang sudah siap untuk membantuku pindah, dia membawakan sebuah tas dan radio tape yang sementara aku bawa carrier berisi baju dan perlengkapan lainnya. aku lihat di kaca rumah itu sudah tiga kamar yang diiklankan termasuk kamarku. Dasar mata duitan belum beres lagi kamar aku sudah ditawarkan. Padahal jatah aku masih lama sampai habis bulan dirumah itu. Sebenernya aku malas balik lagi ke kost lama, karena ibu kost yang cukup bawel, aku ga tau ternyata banyak orang yang memiliki penilaian negative tentang dia, bahkan sampai kasir Alfa mart depan kampusku mengetahui sifat buruk si ibu, desi namanya, awalnya aku cuma iseng ngegodain dia waktu awal-awal Alfa Mart dibuka, aku sering belanja disitu dan ngegodain Desi karena orangnya manis =p, malam itu kubilang kalau aku sekarang pindah kost tak kusangka kemudian dia bertanya alasanku, kukatakan ibulah alasanku pindah tak kusangka dia juga punya komplain mengenai Ibu, dan kemudian dia curhat karena ada pembeli aku merasa ga enak kubilang “ya udah aku pulang dulu yah” tak kusangka desi bilang “nanti kita curhat lagi yah” wwuuuaaahhhhh respon bagus kubilang oke des!. Usut punya usut ternyata desi mendapat pekerjaan dari pak Benny dan si ibu merasa berjasa besar dan minta balas budi. Selain itu ternyata hampir seluruh kawan kost yang tinggal disekitar gang itu pasti menceritakan keburukan prilaku ibu kost ku, yang matre-lah, yang komersil lah, yang nyinyir lah, yang pelit lah, memang seh semua itu kurasakan sendiri.
Bahkan ketika aku dengan baik-baik mengatakan kalau aku ingin pindah, respon yang kudapat bukanlah yang kuharap, seenak perutnya dia marah-marah. Kalau aku ga ingat dengan suami dan anak lelakinya yang baik sama kami sudah balik kumaki-maki dia. Ga pernah sekalipun aku telat bayar kost bahkan aku ga pernah bawa cewe ke kamar aku kecuali sering pulang tengah malam. Itupun kulakukan karena tidak ada aturan tertulis mengenai jam pulang malam, yah aku cuek aja, aku bayar kok.
Tadinya kalau saja respon ibu ini positif aku mau pamit dan cium tangan, tapi karena dia begitu sudah cukup bagi aku untuk tidak memaki. Bodoh kali kawan ni, kalau saja dia berpikir panjang akibat perbuatannya itu kalau nanti kalau ada kawan aku yang mau kost disitu yah aku pasti akan katakan sejujur-jujurnya mengenai kondisi rumah si ibu brengsek ini, kalau dia ga gitu minimal, ketika ada kawan yang menanyakan yah paling kubilang seperlunya. Aku perhatikan banyak yang ga betah di kost ini, yah lantainya yang triplek banyak binatang pemakan kulit yang buat aku gatal-gatal. Kebersihan dilantai atas bahkan tidak dijaga oleh ibu itu, pernah suatu waktu lantai atas kami gelap dan tidak dipasang lampu berminggu-minggu lamanya. Padahal tangganya yang curam itu cukup berbahaya kalau tidak ada penerangan. Padahal berapa seh harga bohlam 25 watt? Kalau memang dia malas keluar uang, tapi tetap merasa bertanggung jawab dia bisa mengumpulkan uang dari anak kost dan aku pikir tidak akan ada yang keberatan lagipula ga mahal khan harga sebuah bohlam 25 watt.
Ya udahlah ga ada abis kekesalan aku sama kawan tu. Yang penting aku udah enak sekarang. Sayang Bang ikli ga sempat menikmati kondisi kost ku yang jauh lebih baik ini. Tapi aku juga ga ngerasain kondisi dia yang lagi “menikmati” praktek di pedalaman Jambi he3x.

I miss u but I hate u so much Bitch!

Kesialan adalah ketika kamu ngalamin rindu banged sama seseorang, karena kamu masih sayang banged sama dia, akan tetapi rasa itu juga dibarengi dengan rasa kebencian yang amat mendalam yang mungkin kamu tidak akan pernah melupakannya seumur hidupmu karena kesalahan dia yang tak akan pernah termaafkan walaupun jika dia menawarkan apapun sebagai gantinya kesalahan itu tidak akan pernah termaafkan. Bahkan kamu sangat ingin menghukum dengan tanganmu sendiri tapi juga kamu ingin membiarkan alam menjalankan prosesnya, karma menentukan keputusannya, akan tetapi kamu juga ingin semua itu tidak terjadi? Pernah ngalamin itu? Bagiku orang yang ngalamin itu adalah orang yang paling sial.
Akulah orang sial itu, shit! why should I must passing this fuckin bad way?

Revolusi Acheh Dalam Kebimbangan

Che Guevara pernah mengatakan “Revolusi hanya membutuhkan orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi revolusi itu sendiri” saya ga ingat betul kata-katanya tapi substansinya seperti diatas. Saya dulu tidak terlalu percaya dengan hal ini. Akan tatpi pada akhirnya saya mengalami juga. Selama beberapa tahun kami melakukan aksi perlawanan demokratik terhadap penindasan pemerintahan Indonesia di Acheh sendirian. Hanya sedikit sekali dari masyarakat Acheh Bandung yang mau berpartisipasi dalam perjuangan ini. Tidak usah berbicara dukungan dana, bahkan kawan kami Muhammad MTA yang ditangkap bahkan tidak dapat simpati dari warga Acheh bandung. Bahkan setelah itu kami kemudian harus sedikit berdebat dengan orangtua dari Keluarga Masyarakat Acheh Bandung (KAMABA) karena mereka melarang kami melakukan kegiatan politik di Asrama Mahasiswa Acheh Teuku Umar di jalan cicendo no.9.
Tapi setelah kemenangan mulai menampakkan dirinya ditengah cahaya matahari, semua orang mulai membicarakan masa depan Acheh, semua orang tiba-tiba menganggap aktivis-aktivis GAM adalah saudara. Berbeda sekali dengan sebelumnya. Memang benar yang Che Guevara katakana, revolusi hanya butuh orang-orang yang mau. Karena ketika revolusi mulai menemukan kemenangannya, semuanya akan mendukung cita-cita revolusi.
Aku sempat tertawa membaca sms dari salah satu orang tua Acheh di bandung yang ditujukan pada kawanku, begini kira-kira smsnya “dirumah ada kolak, silahkan datang kalau berminat” sebenarnya aku jijik mencium bau oportunisme seperti ini, akan tetapi ini adalah hal lumrah yang terjadi dimana saja dan kapan saja. Aku selalu senang dengan mereka yang banyak kerja dan sedikit berbicara. Aku senang terhadap mereka yang mau berkorban tanpa pamrih. Disinilah sebenarnya tahap ujian yang paling berat bagi seorang yang menyebut dirinya pejuang. Lupa daratan adalah hal yang paling berbahaya yang pernah terjadi bagi seorang pejuang.
Banyak kasus ketika dahulu aktivis-aktivis mahasiswa yang lupa daratan ketika mereka meraih kemenangan melawan Soekarno, kemudian masuk dalam ruang lingkup politik praktis. Akhirnya alih-alih mereka “berjuang” justru mereka terjebak dengan kesenangan dan segala fasilitas yang ditawarkan oleh penguasa baru. Aku melihat ada beberapa kawan-kawanku yang “hampir” terkena penyakit lupa daratan. Kecewa ya! akan tetapi ini adalah resiko, seperti kukatakan hal seperti ini adalah resiko terberat dari sebuah perjuangan. Sejarah akan mencatat mereka yang benar-benar murni dalam perjuangan dan yang terjebak oleh noda perjuangan.
Tak ada yang menyanggah bahwa Che Guevara adalah pejuang sejati padahal jauh sebelumnya ia tidak pernah tampil di media massa. Bahkan fotonya yang sangat popular tersebut diambil ketika ia sedang mengunjungi pemakaman seorang kawan. Foto tersebut kemudian menjadi terkenal setelah ia meninggal. Apakah aku akan terjebak dengan semua ini? Aku belum tahu mungkin, ya mungkin tidak. Tapi apakah mungkin aku harus menjijiki diriku sendiri? Aku pikir 2000 kali sebelum menjebakkan diriku didalamnya. Sebenarnya semuanya berpulang pada satu pertanyaan mau atau tidak. Saat ini aku pilih jawaban Tidak! Untuk itu.

Bandung Paris Banged!!!

Beberapa waktu lalu ketika aku mendapat tugas untuk mencari dokumen ad/art organisasi yang entah kemana, aku kembali membuka dokumen-dokumen lama sepanjang kuliah.
Banyak dokumen penting yang kubiarkan tertumpuk dalam dus di lemari tua warisan bang Ical. Banyak tulisan-tulisan aku yang kubiarkan begitu saja.
Saat ini aku sering mencaci tulisan yang dimaksudkan untuk penyadaran masayarakat akan tetapi dibuat dengan bahasa-bahasa langit yang justru sulit dimengerti oleh masyarakat sendiri. Tanpa kusadari ketika aku membuka kembali file-file tua itu, aku juga pernah mengalami hal tersebut.
Banyak tulisan-tulisanku menggunakan bahasa-bahasa langit. Akhirnya setelah kupikir semua orang harus menjalani prosesnya sendiri sampai pada akhirnya kita mengerti sendiri siapa kita, apa yang harus kita lakukan.
Tidak hanya itu banyak kenangan-kenangan lama kutemukan tertumpuk didus tersebut. Surat-surat cinta yang sudah lama dan tidak valid lagi. Foto-foto mesra yang dibuat pada masa-masa bahagia dulu, ketika aku aksi bagi-bagi bunga untuk Acheh pada malam minggu dengan seseorang yng pernah amat kusayang. Waktu kami aksi sangat unik, kami pakai obor, jalan menuju pusat keramaian kota Bandung Jalan Dago.
Waktu itu dia baru-baru saja tiba di Bandung udah kuajak aksi. Habis itu aku antar dia kerumah kawannya di tegallega yang lewat gang-gang sempit waktu malam itu hujan deras dan pulangnya aku terpaksa jalan kaki dari tegallega ke Asrama. Well that is her first action that she joined.
4 tahun di Bandung, banyak hal kualami dalam keadaan manis pahit, susah senang, aman, bahaya. Ga nyangka kalau aku sampai “setua” ini.
Fase Bandung akan menjadi suatu fase yang akan sangat mempengaruhi kehidupanku ke depan. Disinilah aku berkenalan dengan orang-orang pergerakan, disinilah, aku melakukan aksi disinilah aku meperjuangkan Acheh, disinilah aku berjumpa muka dengan orang yang pernah dan masih kusayangi sampai saat ini. Disinilah aku pernah mengalami masa paling romantis disini pulalah aku pernah mengalami masa yang paling pahit dalam sebuah hubungan cinta. Disini aku menemukan persahabatan, lebih dari sekedar definisinya, disini aku menemukan perjuangan, disini aku belajar dan berpraktek apa itu politik. Disini aku menemukan pragmatisme yang dibungkus dengan idealisme, idealisme yang disembunyikan dalam sebuah pragmatisme. Pendek kata, Bandung adalah awal dari segala kehidupanku di Acheh nanti.
Bandung dengan segala keindahan juga kebobrokan Pemkotnya mengkorupsi dana perbaikan jalan dan trotoar membuat kota ini memiliki warna sendiri. Keindahan dan keburukan memiliki batas yang kabur disini. Trotoar di Bandung sebelum Konferensi Asia Afrika 2005 sangat jelek, padahal aku yakin seyakin-yakinnya kalau dana untuk perbaikan trotoar dan jalan itu selalu ada. Akan tetapi jeleknya trotoar dan jalan di Bandung ini hilang ketika aku melihat wanita cantik yang berjalan diatasnya serta suasana teduh yang dulu menjadi ciri khas kota Bandung.
Bandung dengan segala romantismenya mungkin dapat dikatakan sebagai “Parijs Van Java”dalam pengertian bahwa jangan samakan Bandung dengan kota Paris dengan segala kemegahann Eiffelnya akan tetapi untuk sebuah kota yang ada di pulau Jawa yang dikelola oleh pemerintahan yang korup, Bandung bolehlah dibilang Paris banged……

Tuesday, September 27, 2005

Think before you answer this question.

If two people love each other, but they just can’t seem stand together, when do you get the point of enough is enough?

Friday, September 23, 2005

Get Up Stand Up
Stand up for your rights
Get up stand up don’t give up the fight

Bob Marley sangat dalam mempengaruhiku dengan lirik lagunya dalam Get Up Stand up and Redemption Song. Seperti kubilang sebelumnya aku mengenal Bob Marley, Iwan Fals daria ayahku. Kadang aku berpikir apakah ayah memang menginginkanku untuk menjadi aktivis, ataukah ia sekedar menyenangi hal-hal yang idealis yang tanpa ia sadari itu membentuk basis fundamental pada jiwaku yang kemudian memilih jadi aktivis.
Bob Marley dan Iwan Fals mengajarkanku untuk berkata tidak pada setiap bentuk penindasan. Kita tidak perlu takut dengan segala resikonya. Dalam redemption song bob Marley mengatakan:
emancipate your self from mental slavery, none but ourselves can free our mind. Have no fear for atomic energy, cause none of them can stop the time.
bayangkan di periode 70-an dimana dunia sedang dibayangi perang nuklir, justru Bob Marley menganjurkan kepada kita untuk tetap melawan dan tidak takut terhadap kepada kekuatan Nuklir dengan alasan yang simple, karena tidak ada yang dapat menghentikan waktu.
Dua musisi ini memiliki banyak kesamaan dalam hal postif maupun negative. Mereka sama-sama idealis, banyak penggemar, lagu-lagu mereka abadi dan mereka juga sama-sama penghisap ganja nomor wahid. Waktu masih smu, aku juga sempat terpengaruh untuk menduplikasi hal negative dari mereka. Setahun hidup dengan ganja itu memang “penderitaan” yang amat sangat. Akan tetapi hal menjadikan hidupku penuh warna.
Kadang aku berpikir, di alam ini memang ada semacam sistem keseimbangan, mengutip ayat Al Quran yanga aku lupa nama suratnya, “Allah meninggikan langit dan merendahkan bumi”. Alam melahirkan sistem-sistem yang tidak adil, pemimpin yang tiran akan tetapi sebaliknya alam juga melahirkan manusia-manusia idealis yang tidak pernah kehabisan tenaga. Kedua kelompok manusia ini sebenarnya sama-sama berusaha berebut pengaruh dari kelompok yang ketiga yaitu yang pasif. Dan yang terakhir jumlahnya paling banyak.
Dari segi kekuatan, manusia-manusia idealis ini tidak memliki basis materil yang kuat, kalaupun ada hanya sedikit. Akan tetapi, kekuatan mereka terletak pada jiwa mereka yang justru diberi bahan bakar oleh prilaku dan kebijakan para pemimpin dan sistem yang tiran. Gila, alam mempermainkan manusia dengan permainannya sendiri. Tanpa kusadari aku pun terjebak dengan permainan itu dengan menjadi salah satu objek atau subjek aku ga tau.Iwan Fals bilang dalam lagu 15 juli 1996:

aku tak bisa untuk tak peduli, hati tersiksa.
aku bersumpah untuk berbuat yang aku bisa
harus ada yang dikerjakan agar kehidupan berjalan wajar.
hidup hanya sekali wahai kawan, aku tak mau mati dalam keraguan


aku belum lama denger lagu ini, akan tetapi ketika aku mendengarnya, aku merasa sepertinya Iwan Fals sangat memahami apa yang aku dan para aktivis lainnya. Sepertinya kata-kata Che Guevara benar “people who their heart shaken when they see the oppression are my comrades”
kaum idealis tanpa disadari memiliki banyak kesamaan. Hidup Kaum idealis tidak pernah tenang, bayangkan getaran hati melihat penindasan terus menghebat, dan itu harus segera disalurkan dalam bentuk perlawanan karena tidak ada tenaga yang cukup untuk terus menahannya. aku sendiri tidak mampu menahannya dan itu hanya bisa diredakan dengan melakukan sesuatu.
Kaum idealis juga memiliki kesamaan visi, ingin menciptakan dunia yang lebih baik, akan tetapi sayangnya mereka sering bertengkar pada tataran misi dan metode gerak, yang memang berbeda. Tapi hal ini biasa. Konflik lah yang membuat manusia maju. Tanpa konflik, kita tidak pernah belajar bagaimana mengatasi masalah yang terjadi dalam tataran interpersonal maupun interorganisasi.
Pada akhrnya kita harus memilih mau menjadi apa kita, apakah kita memilih peran dalam sistem yang tiran entah sebagai pelaku atau pun sekedar tunduk pada segala aturannya, ataukah seperti Rasyidin katakan padaku kita adalah orang-orang yang berada di luar konvensi dan beruntunglah kita,karena mereka yang berada diluar konvensi adalah orang-orang yang merdeka. Pilihannya ada pada diri kita sendiri. Aku sendiri memilih untuk walk out dari konvensi. Bagaimana dengan anda?

Saturday, September 17, 2005

My Best Friend Wedding

Finally, tomorrow on Sunday 18 September 2005 my best brother that I ever had Ikli, could celebrate his wedding ceremonial tomorrow with his fiancée kak Nani.

Setelah selama 6 Tahun lebih mereka Pacaran. Hubungan bang Ikli dan Nani memang agak unik. Mereka pacaran tanpa ada kata nembak. Bahkan Nani sempat mutusin ikli waktu di Asrama. Sempat kuledek, makanya jangan monogamy, jadi punya cadangan. Tapi Ikli berhasil meyakinkan Nani untuk tetap menjaga hubungan mereka. Besoknya mereka udah balik lagi. Btw Nani itu memang cantik, betul-betul cantik. Langsing, putih tinggi, modis plus pakek jilbab pula. Kalau liat difoto kaya sudah berumur dan ternyata aslinya jauh lebih muda dan cantik.

Awalnya pernikahan mereka direncanakan bulan Juli, tapi tertunda terus. Setelah kutanyakan ternyata masalahnya adalah pesta. Dana yang direncanakan untuk pesta masih terhutang gimana bilangnya, dana pesta pernikahan itu ada, akan tetapi masih tertahan dalam bentuk hutang, ada relasi papa kak Nani yang berhutang dengan poapa Nani dan ternyata belum terbayar sampai beberapa waktu. Sayang sekali menunda karena gengsi calon mertuanya yang ngotot untuk membuat pesta pernikahan yang mewah, Padahal bagi Ikli dan Nani pesta tidaklah penting, apalagi yang mewah. Namun biasalah orang kaya, selalu seperti itu. Semuanya harus serba mewah semua harus simbolis yang kadang seringkali melupakan substansi dari yang sesuatu yang akan mereka lakukan.

Ikli adalah seorang sosialis pemikiran aku dan dia sama mengenai ini. Jadi bagi aku dan Ikli segala sesuatu memiliki tanggung jawab social. Bayangkan ketika kita melakukan sesuatu yang menggunakan dana besar akan tetapi ternyata di sekitar kita masih ada yang berkekurangan, etis ga seh?

Memang ga ada yang larang seseorang menghabiskan dana besar untuk berbagai hal. kami sempat berdebat keras mengenai substansi yang naik hajinya seorang muslim dengan melupakan lingkungan sekitarnya. Awalnya Ikli ga setuju dengan pendapatku. Dengan mengatakan persoalan tersebut tidak akan selesai dengan tidak naik hajinya seseorang muslim. ku katakan, apa niat seseorang naik haji, umroh atau apalah itu? Mendapat ridho Allah dan pahala khan?

Kalau seseorang yang tidak berpuasa bisa mendapatkan pahala puasa dengan memberi makan orang puasa apalagi orang yang mau naik haji akan tetapi menyisihkan uangnya untuk memberi makan orang miskin? Tiga puluh juta rupiah lebih ongkos naik haji (ONH) per individu bukanlah dana yang kecil dan tidak berarti. dana sebesar itu sangat berarti bagi mereka yang masih berkutat dengan perihal kontradisksi dasar masalah perut. Bayangkan dari tiga puluh juta tersebut, kalau kita memberi modal sebesar tiga juta rupiah kepada mereka yang membutuhkan sudah banyak kemunkaran, kemaksiatan dan kemurtadan yang kita cegah terjadi pada 10 orang miskin. Belum lagi kalau kita bagi 30 juta tersebut dalam bentuk beasiswa pendidikan, berapa anak orang miskin yang selamat dari putus pendidikan?
Dampaknya secara nasional cukup signifikan paling minimal adalah berkurangnya pengangguran dan dengan berkurangnya pengangguran berarti berkurangnya resiko tindak criminal. Dengan berkurangnya resiko tindak criminal maka makin berkurang kerugian-kerugian dari dampak kriminalitas yang akan menimpa masyarakat, dunia usaha serta sektor pariwisata. Dengan kondisi yang Negara yang aman maka investor asing pun akan dengan mudah menanam modalnya. Lihat besar bukan efeknya?

Lagipula secara ekonomi, dana haji itu menimbulkan deficit kok, dimana setiap tahun milyaran dana masuk ke Arab Saudi yang memang sudah kaya sementara pihak lain yang diuntungkan sekali lagi para kapitalis seperti pemilik hotel, biro perjalanan dan Kaum-kaum birokrat yang mengkorupsi dana haji setiap tahun. Yang sekali lagi memang sudah kaya. Bayangkan berapa besar dana yang bisa dihemat bila pemerintah minimal untuk satu tahun melakukan peniadaan pengiriman Haji?

Akan tetapi karena tujuan seorang muslim naik haji sudah bias, bercampur antara ibadah dan menaikkan gengsi. Jelas hanya orang kaya yang mampu naik haji atau umroh. Ikli membantah, itu individunya bukan sistem agama yang salah, kukatakan aku ga menyalahkan sistem dalam agama Islam sendiri, karena aku mempersoalkan ketimpangan sosial yang terjadi. Sebagian kecil orang menikmati ibadah dan tidur di hotel yang mewah sementara sebagian besar orang masih harus menahan lapar. Apakah hanya orang kaya juga yang nantinya masuk surga? Silahkan naik haji ketika memang seseorang sudah menghilangkan rasa lapar tetangganya, silahkan naik haji ketika seseorang memang sudah membantu persoalan ekonomi masyarakat di lingkungannya. Lagipula bagi mayoritas orang Indonesia “gelar” haji adalah gelar yang paling mudah didapat dalam tempo singkat.

Waktu itu Ikli diam tidak menyatakan kesetujuan atau ketidak setujuannya. Akan tetapi aku mengetahuinya kalau ia setuju ketika ia tidak setuju dengan Fikri kawannya akan pergi Umroh dengan mengatakan argument yang kukatakan.

Balik lagi ke pernikahan, yah seperti itupun pesta pernikahan, ngapain kita maksa pesta ketika dana yang ada tidak mencukupi? Melakukan penundaan terhadap pemenuhan kontradiksi dasar seseorang adalah sebuah kejahatan. Sebuah kejahatan pula ketika kita asyik berpesta sementara ada orang yang menyaksikan kita berpesta dengan menahan lapar. Aku ga tau bagaimana pesta mereka besok, yang jelas aku sangat bersyukur akhirnya Ikli bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya. yang penting aku juga bisa terlibat dalam hal penyebaran undangan di Bandung. Aku hanya bisa memberi doa yang sama pada kawan-kawanku yang menikah semoga pernikahan semakin memotivasi semangat perjuanganmu dan bukan menjadi penghalang. semoga melahirkan generasi penerus yang revolusoner.

Bagaimana pernikahanku nanti? Ga tau impian aku mengenai pernikahan sudah kukubur dalam-dalam setelah sesuatu yang suci dikotori dengan kebohongan berlumur pengkhianatan. Kadang nyesal juga tiga tahun waktu hidupku kuhabiskan dengan pembohong yang masih juga aku sayang sampe saat ini. Akan tetapi ada waktu dimana aku selalu terbayang menikah yang sederhana, akan, tapi aku sadar belum tentu perempuan yang aku nikahi mau nikah tanpa pesta atau dengan pesta yang sederhana, bagiku simple yang penting bisa menghadirkan tamu sebanyak mungkin itu sudah cukup. Yang pasti pernikahanku harus menggunakan adat Acheh disertai dengan tari Leukok Pulo di Negeri Acheh kalau bisa dengan Inong Acheh dan dihadiri dan direstui oleh Wali Nanggroe Teungku Hasan Muhammad di Tiro, (semoga dia hidup selamanya) Aku sempat bergurau dengan Astri kawanku waktu antar undangan pernikahan ikli ke rumah seorang dokter “nantilah kalau aku nikah, kukirim tiket pesawat untuk ke Acheh. Tapi jangan lupa kau buat paspor dulu karena masuk Acheh beberapa tahun lagi harus pakai paspor” hehehe3x

PS: Semangat yah malam pertamanya jangan sampe loyo, itu akan dikenang seumur hidup bung! Selamat menikmati duren =p.

Friday, September 16, 2005

Acheh Tanpa Tsunami

Hei Tuhan
Apakah kau dengar jerit umatmu
Di sela derasnya air

Hei tuhan adakah kau murung
Melihat beribu wajah berkabung
Disela bencana Tsunami

Hei tuhan. Tamatkan saja
C erita pembantaian bangsa Acheh, yang jelas patuh padaMu

Hei Tuhan katanya engkau maha bijaksana
Tolong kirim Tsunami ke Jakarta
Tempat segala macam dosa

Berat beban kau datangkan
Pada rakyatku di Acheh
Cela apa, nista apa
Hingga engkau begitu murka

Hingar tangis karena adzabmu
Setiap detik duka berpadu

Semakin deras jerit tak puas
Dari mereka yang resah bertanya
Adilkah keputusanmu?

Acapkali rintih memaki setiap duka tuding ilahi
Jangan salahkan kecewa aku bosan dalam irama takdirmu
Walau ku tak terganggu

Bukankah kau maha tahu pengasih penyayang
Tapi mengapa selalu saja itu hanya cerita

Hei tuhan tolong buktikan
Hei tuhan tolong dengarkan

Amuk air yang pasang hancurkan kota
Tinggalkan barang, penghuni kota pergi

Gelombang besar menyeret saudaraku
Ulurkan tangan bantulah saudaramu

Lagi-lagi Iwan Fals, diatas ini adalah lirik lagu “tolong dengar tuhan”. lagu ini udah kugubah, waktu Tsunami Acheh, dulu kira-kira begitulah makian aku ke sesuatu yang namanya “tuhan”.
Gimana ga kumaki tuhan, hampir tiga ratus ribu lebih orang Acheh syahid karena Tsunami. Anak kehilangan orang tuanya, kakak, kehilangan adik, yang selamat kehilang saudara dan harta benda yang kaya jadi miskin, yang udah miskin, jadi kelaparan. Bahkan terjadi busung lapar, sesuatu yang belum pernah terjadi di Acheh sebelumnya.
Tapi ternyata beberapa bulan kemudian pikiran ku berubah. Kadang memeng kita butuh waktu untuk memahami makna dari suatu peristiwa. Ya Tsunami menelan banyak korban, ya Tsunami menghancur leburkan Acheh.
Tapi ternyata Tsunami membawa berkah yang besar. Tanpa Tsunami Acheh mungkin masih tetap dalam bencana konflik sampai saat ini. Tanpa tsunami takkan ada orang asing yang masuk dan melihat keadaan Acheh yang sesungguhnya. Tanpa Tsunami, Uni Eropa takkan memberi bantuan dengan syarat Acheh harus damai –yang akhirnya memaksa pemerintah untuk berdamai dengan GAM—. Tanpa Tsunami takkan ada perundingan. Tanpa Tsunami belum tentu ada Self Government dan tanpa Tsunami aku mungkin masih berada di jalan untuk aksi protes kebiadaban TNI di Acheh dan tanpa tsunami aku mungkin sampe sekarang aku ga punya target untuk selesai kuliah. Tanpa tsunami aku mungkin ga pernah tahu kalau ternyata banyak masyarakat Indonesia masih memiliki rasa kemanusiaan yang sangat besar berbeda dengan pemerintah dan Tentaranya yang laknat. Tanpa Tsunami aku ga akan pernah kenal dengan kawan-kawan relawan dengan segala sikap dan kharakternya.

Mungkin Acheh akan menjadi lebih buruk tanpa Tsunami……….
Only God knows that.

Sunday, September 11, 2005

Dinamisasi Kehidupan Kampus

Akhir-akhir ini aku mulai menjlani lagi kehidupan kampus yang penuh dengan gairah angkatan baru. Aku sadar persoalan Acheh masih wait and see, akan tetapi aku bukanlah orang yang bisa tenang dalam suatu keadaan yang stagnan. Adrenalin ku terlalu tinggi untuk sebuah kehidupan yang tenang tanpa ada dinamika. Aku kembali menjalin sebuah hubungan baru dengan lingkaran-lingkaran terdekat di kampus Ari dan Bangka, walau mereka pernah beraliansi melawanku, tapi aku sudah lama memaafkan mereka. Sejak awal mereka melakukan kesalahan aku berusaha memahami mereka hanya khilaf dan suatu saat mereka akan sadar. Aku ga tau tapi akhirnya pemahaman ku sejauh ini benar adanya mereka khilaf. Mereka mengakui kesalahan dan bangka minta maaf.

Kami sepakat untuk membuah sebuah gerakan, awalnya hanya untuk iseng-iseng akan tetapi ternyata gerakan anti kekerasan ospek kami mendapat reaksi yang cukup signifikan. Isu kekerasan yang dilakukan oleh jurusan komunikasi kampus kami tersebar ke seluruh penjuru kota. Katanya seh sampai Ke UI tapi aku belum mengklarifikasi kebenaran berita itu. Bahkan ada geng motor Steken mendukung gerakan kami, karena ada salah satu anggota mereka yang jadi korban kekerasan. Mahasiswa baru berhasil kami kompori untuk melawan. Bahkan ketua pelaksana Mabim (Ospek Jurusan) mengancam mengundurkan diri. Isu ini ditanggapi oleh gerombolan Nene dan kawan-kawan mereka membentuk Forum pembela ilmu komunikasi hahaha, aku ketawa namanya mirip dengan fron pembela Islam, bagi aku ini hanyalah geromblolan orang-orang bodoh yang ga ngerti apa itu demokrasi.
FPIK sempat mengintimidasi Badan Pers kampus untuk membocorkan nama-nama anggota forum kami, bahkan juga anggota forum solidaritas kami yang juga anak komunikasi. Yah begitulah gerombolan. Bisanya gaya-gaya preman. Presiden Pers mahasiswa kampus sudah menawarkan hak jawab, akan tetapi mereka memilih audiensi . Presiden menawarkan pada Ari, dan bodohnya Ari juga menerima tawaran audiensi tersebut. Tapi gapapa. Eva awalnya bukan merupakan bagian dari forum kami dia hanya kemudian berpihak pada kami setelah mendapat intimidasi dari gerombolan FPIK. Bayangkan FPIK 25 orang yang mayoritas terdiri dari angkatan tua 1999 sampai 2001 mengintimidasi satu orang anak angkatan 2003. sejak itu konstelasi politik kampus terus meningkat secara drastic, perubahannya bukan lagi perhari akan tetapi per jam. Gerombolan FPIK meminta audiensi sama kami tengah malam setelah mengintimidasi Eva, akhirnya aku dan presiden Pers mendatangi ke kost Ari di kostnya yang lumayanlah jaraknya dengan jalan kaki.
Karena jaraknya yang akan jauh dari kampus, akhirnya kami agak lama menuju kampus. Begitu tiba di kampus kami mendapati sekre Pers kampus ditulis aku dan Ari pengecut kami cukup kecewa begitu tulisan itu. Begitu kami masuk ternyata ada tulisan serupa, aku marah, bukan apa-apa, BPPM sebagai institusi sebenarnya netral walaupun pribadi-pribadinya sepakat bahkan mendukung gerakan kami. Tanpa mereka sadari mereka menambah musuh, menghadapi kami saja mereka sudah kewalahan tambah lagi BPPM yang memiliki kekuatan untuk membentuk opini kampus
Akhirnya kami sepakat untuk audiensi. Hari Sabtu kemarin. Ternyata hariu Sabtu Ari ke Jakarta. Kami tunggu mereka setengah tiga, mereka datang, langsung kuintimidasi mereka, bahwa tindakan mereka menulis di dalam sekre pers adalah pelanggaran kedaulatan territorial organisasi tersebut. Ternyata mereka ngotot nunggu Ari datang. Ya sudah kami tunggu sampai jam 8. sampai jam setengah 8 Ari sudah pasti tidak datang mereka tetap ngotot nunggu Ari, akan tetapi ternyata mereka ngeyel, ya sudah jam 8 kurang 5 aku datangi mereka bersama Eva, aku ancam kalau ternyata jam 8 tepat mereka tidak datang masalah kami anggap selesai. Mereka marah dan sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan sebagai mahasiswa, akan tetapi sudah kumaklumi karena mereka kuanggap sebagai gerombolan.
Akhirnya mereka datang dengan memobilisasi massa komunikasi kira-kira 15-20 orang.
Begitu datang Reza presiden Pers kampus kami melakukan langkah intimidasi yang cukup hebat dengan menyatakan kekecewaannya karena pelanggaran kedaulatan territorial dan menuntut permintaan maaf secara tertulis. Akhirnya mereka minta maaf, dan bersedia menyatakannya secara tertulis. baru mulai sudah kebobolan gawangnya. Hahahaha, aku ketawa sendiri kalau ingat itu, kemudian mereka mempersoalkan kampanye kami, data berita pers pamphlet, forum kami, Bangka yang pada awal konflik tidak mau terlibat demi pembelajaran juniornya di Pers, akhirnya terlibat karena pelanggaran batas tersebut.
Kami terpaksa memberi kuliah mereka tentang politik Forum, bahwa forum adalah sah dalam politik mengenai tema gerakan, bahkan pendirian dan bubarnya. Mereka juga mempersoalkan kampanye kami yang merugikan mereka dan menuntut permintaan maaf. terpaksalah kuberi kuliah mengenai demokrasi dan kebebasan berpendapat mereka ga mau ngerti terpaksa aku narsis, bahwa aku demo ke DPR, KODAM merugikan nama TNI, mereka tidak pernah menuntut permintaan maaf, dan lagi yang ku lakukan adalah hak aku, jika keberatan silahkan tanggapi dengan pendapat pula, tidak perlu ada permintaan maaf.
Mereka hanya bengong kuberi kuliah, dan ga menuntut lagi permintaan maaf lagi. Akhirnya mereka berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menuntut hak jawab mereka tertulis tanpa diedit. Tapi percuma mereka yang bilang sendiri opini sudah terbentuk dan mereka telat menyikapinya karena lebih memilih audiensi ketimbang hak jawab. Mereka pulang dengan kekalahan telak. Aku bersalaman dengan dicky -yang ditempatkan oleh nene sebagai ketua gerombolan FPIK- bahwa kita selesai. Tapi itu Cuma lips service enak aja, udah kalian intimidasi Eva, belum ada yang selesai. Aku sudah menyiapkan propaganda baru untuk mengeliminasi mereka dan mendelegitimasi mereka secara total. Kita liat nanti dalam blog berikutnya.

Saturday, September 10, 2005

Para Tentara

Para Tentara jangan pukul kami,
kami tak kuat menahan rasa sakit,
kami disini atas dasar nurani atas dasar akal sehat kami yang terus menjerit
ingin berbuat….
Para tentara jangan siksa teman kami.
kami tak kuat untuk membayangkan semuanya,
kami disini karena kami tau mana baik mana buruk
benar dan salah…percayalah……

Para tentara,,, kamu kan manusia bukan robot apalagi boneka
para tentara kamu kan beragama
punya tuhan setidaknya punya cinta mengertilah…..
Para tentara nasib kita sama,
sama-sama keras, sama-sama cadas
Kami mengerti kalau kamu mau mengerti
karena hati sudah tersiksa, bijaksanalah….
Para tentara tidak kah kau melihat
media massa berlumuran darah
Para tentara tidakkah kau merasa
kami muak dengan kekerasan ooooo yeeahh berhentilah.

Yang kamu banggakan……hancur sudah
Sia-sia senjatamu yang menakutkan
Sia-sia kemenangan yang kau raih
Gelombang cinta, gelombang kesadaran merobek langit yang mendung
Menyongsong hari esok yang lebih baik.

Oooooo….oooooo….ooooo….oooo

Gelombang cinta, gelombang kesadaran merobek langit yang mendung
Menyongsong hari esok yang lebih baik


Ini lagu Iwan Fals tentang militer Indonesia yang kedua setelah “serdadu”Bagi aku lontaran kritik dalam lagu Para Tentara kepada TNI cukup keras. Kalau dianalisa lebih dalam menurut aku Iwan Fals membuat lagu ini berlatar belakang penembakan mahasiswa tahun 1998

Para Tentara jangan pukul kami,
kami tak kuat menahan rasa sakit,
kami disini atas dasar nurani atas dasar akal sehat kami yang terus menjerit
ingin berbuat….

Kata kami jelas mewakili demonstran, yang melakukan aksi. Iwan menyebut atas dasar nurani dan akal sehat,
“kami tak kuat menahan rasa sakit” Iwan menunjukkan keberpihakkanya pada demonstran yang memang berasal dari sipil dan tidak terlatih untuk berperang seperti tentara.
karena pada waktu itu setiap aksi demonstrasi selalu diberi stigma “ditunggangi pihak ketiga”.
“ingin berbuat” ditujukan pada demonstrasi itu sendiri, apa she yang bisa dilakukan sipil pada masa itu? Selain demonstrasi, karena keinginan dialog jelas ditolak oleh Firaun Soeharto.

Iwan juga mengingatkan kalau tentara bukanlah robot yang diprogram oleh para jendral. diluar seragamnya tentara juga manusia yang harus berpikir layaknya manusia. Dalam arti bahwa tentara tidak harus menjalankan perintah atasannya yang salah dan tidak manusiawi.
Iwan juga mengingatkan tentara, bahwa dalam realitasnya kehidupan tentara (prajurit) dan sipil adalah sama, berapa seh gaji seorang prajurit TNI, tidak di istimewakan, jadi ga usah lah merasa superior.
Iwan menggambarkan bahwa sipil tidak mau mengerti selama tentara tidak berusaha mengerti sipil, karena wajar bukan egois 32 tahun militer berkuasa, lebih dua juta rakyat sipil Indonesia tewas pada tahun 65, lebih dari 15 ribu rakyat Acheh tewas pada masa DOM. Belum lagi perampasan tanah rakyat secara sewenang-wenang di tanah Jawa. Juga proyek-proyek militer yang mengorbankan proyek sipil. Belum lagi yang tak tercatat seperti prilaku serdadu TNI yang seenak-enaknya dalam kehidupan sehari-hari dalam hal berlalu lintas saja mereka mau diutamakan.
Iwan lebih jauh berusaha menyadarkan tentara bahwa citra mereka sudah jatuh dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tersiar di media massa, ia juga menggambarkan betapa sipil sudah jenuh dengan segala bentuk kekerasan yang sudah memakan banyak korban.
Menjelang bagian akhir lagunya Iwan menihilkan segala “kemenangan” TNI dalam penanganan kasus dengan kekerasan. Militerisme dan segala atributnya tidak patut lagi untuk dibanggakan akibat kesalahan mereka sendiri. Hal itu ditandai dengan kemenangan reformasi 1998.
Secara pribadi aku selalu mengagumi Iwan Fals, Bob Marley dan seniman yang memiliki idealisme dalam berkarya. Ayahkulah yang mengenalkan pada Iwan Fals dan Bob Marley. Dan aku juga memiliki analisis pribadi bahwa aktivis 98 itu banyak terpengaruh oleh Iwan Fals yah itu subjektif loh, bukan empiris.
Lihatlah bagaimana Iwan Fals sanggup mengkritisi Tentara padahal bapaknya adalah Kolonel AD di tubuh TNI. Aku melihatnya sebagai Che Guevara Indonesia walaupun dia bukan dokter tapi dia juga angkat senjata, senjatanya Gitar.
Tapi aku ga tau kenapa masih banyak orang yang bangga dengan atribut kemiliteran malah mau menjadi underbow TNI dengan membentuk organisasi milisi semacam ga usah disebutlah pokoknya organisasi underbouw TNI rata-rata pasti memiliki atribut kemiliteran bahkan mereka cenderung lebih militer ketimbang TNI sendiri. Kerja mereka jug hampir sama yaitu peras orang, becking diskotik bahkan aku pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka memeras Pekerja Seks Komersial.
Aku pikir ga akan ada habisnya membicarakan keburukan militer Indonesia, bahkan ada semacam joke di kalangan aktivis mahasiswa bahwa perusak Negara ini ada dua yang pertama TNI kedua HMI.
Hehehe itu Cuma joke kalau ada anggota TNI marah silahkan marahlah aku Cuma mau bilang kalau itu kenyataan, tapi kalau ada anak HMI yang marah,jangan marah sama aku marahlah sama alumni kalian yang merusak citra HMI.

Friday, September 09, 2005

Quo Vadis Kemerdekaan Acheh*

Kawan-kawan yang kucintai
Hari ini perdamaian yang entah semu atau abadi, telah bertamu ke Acheh. Kegembiraan segera menyelimuti bagi para penghuni rumah Acheh, berbagai hidangan kita sediakan untuk sang “tamu” dan kita mengerahkan berbagai usaha untuk sang tamu agar tinggal selamanya di rumah Acheh.
Namun saya ingin mempertanyakan betulkah hanya tamu perdamaian yang kita inginkan? Benarkah hanya tamu “self government” yang datang satu paket dengan damai? Bagi saya pribadi tidak!.
Damai dan Self Government hanyalah alat untuk mencapai tujuan hakiki rakyat Acheh. Jangan pernah kita lupakan sejarah bahwa orang tua kita Alm.teungku Daud Beuereuh juga pernah mengalami peristiwa yang sama. Saya percaya dengan filosofi sejarah yang mengatakan “sejarah berulang dalam tingkatan yang berbeda”. RI tetaplah memusuhi rakyat Acheh, mungkin dapat kita katakana SBY-Kalla adalah musuh yang cukup bijaksana, akan tetapi siapa yang dapat menjamin perdamaian ketika rezim mereka turun atau dipaksa turun? Che Guevara mengatakan, Yakinkan diri kita untuk tidak pernah mempercayai Imperialisme. RI sebagai sistem adalah sebuah sistem yang fasis imperialis. Mussolini dari Italia dengan rezim fasisnya dahulu memiliki visi untuk membangun kembali imperium Romawi, sama halnya dengan Soekarno ketika membangun RI dulu, ia memiliki visi untuk mengembalikan kejayaan majapahit. Yang mereka klaim memiliki wilayah sampai ke Madagaskar.
Jangan pernah lupa, kalau dahulu belanda pun tak bosan-bosan untuk tetap menipu RI dengan berbagai trik semacam Uni Indonesia-Belanda, RIS dan sebagainya, begitupun RI mempelajari trik Belanda untuk menipu Acheh, untuk membuat rakyat Acheh melupakan tujuan hakiki perjuangan kita. Perdamaian hanyalah sub-ordinat dari cita-cita ratusan tahun perang kemerdekaan Acheh melawan imperialisme.
Kesejahteraan ekonomi, perdamaian tidak akan menyelesaikan persoalan rakyat Acheh, sama halnya yang terjadi dengan Taiwan, jika kesejahteraan ekonomi dan kemandirian dapat menyelesaikan persoalan tentu Taiwan tidak akan pernah lagi berbicara persoalan kemerdekaan politik dari China, kalau berbagai cara peningkatan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah AS di Irak dapat menyelesaikan persoalan, tentu pemberontakan rakyat Irak sudah lama berhenti. Harga diri sebuah bangsa tidak dapat ditukar dengan sebidang tanah dan gaji yang besar. Harga diri sebuah bangsa tidak dapat ditukar dengan berkibarnya bendera kita disamping bendera Negara Induk. Jika itu terjadi, maka maka kita bukan lagi sebuah bangsa. Rakyat Acheh adalah pemimpin bagi rakyat Acheh dan saya yakin rakyat Acheh akan setuju dengan hal itu. Soenarso seorang penyair radikal berkebangsaan Jawa mengatakan dalam sajaknya “kabar untuk sang anak”
“apakah aku harus memilih jalan diatas kebenaran ataukah kedamaian?
Ternyata aku memilih jalan kebenaran biarpun kebenaran
penuh darah dan nanah, Apalah artinya kedamaian, kalau kita
hanya menjadi budak? Tidak anakku, kalian tidak boleh
menjadi budak di negeri sendiri, mereka sengaja memberi
mimpi tentang kedamaian, sementara kebenaran telah
dirobek-robek, jiwa dan raga kita telah dicabik-cabik, terbuang
dalam lautan debu yang sangat hitam”
Kawan, kebenaran itu adalah pembebasan rakyat Acheh, kebenaran itu adalah perginya penjajah dari muka bumi Acheh, kebenaran itu adalah kemerdekaan bagi rakyat Acheh. Jika seorang bangsa Jawa sanggup memiliki sikap demikian, dan kita bangsa Acheh tidak, mungkin kita perlu berguru pada Soenarso.
Persetan dengan segala kompromi politik yang telah dan masih akan dibicarakan, saya disini hanya berusaha mengingatkan, bahwa mimpi kita belum terwujud! Jangan sampai kita melupakan itu, jangan sampai kita korbankan cita-cita pejuang kemerdekaan yang gugur di medan pertempuran. Mereka sudah cukup sakit hati dengan RI, jangan biarkan mereka sakit hati untuk kedua kali.
Jangan pernah mimpi bahwa Indonesia akan senang melihat Acheh damai, jangan pernah mimpi bahwa Indonesia akan tenang melihat Acheh memiliki kelebihan dengan sistem yang akan diterapkan di Acheh nanti, mengapa demikian? Pemerintahan Indonesia mewarisi dengan kental kultur pemerintahan primitive Mataram, dimana Sultan tidak senang apabila ada adipati punya status, kekayaan, kecerdasan yang lebih daripada Sultan sendiri. Sang sultan dengan segera akan melancarkan berbagai cara untuk menjatuhkan adipatinya, sebesar apapun jasa adipati tersebut kepada Sultan. Selama posisi Acheh masih Sub-ordinat dari Indonesia, maka selama itu Acheh masih tetap “adipati” dari “Sultan Indonesia”. Semoga fase damai ini tidak membuat kita mabuk kemenangan, ada baiknya kita memandang bahwa perdamaian ini hanyalah jalan lain menuju cita-cita Bangsa Acheh

*Artikel ini kutulis dalam kerisauan yang memuncak di tengah euforia yang rapuh.

My Moms Birthday

9 september ini mama ku tercinta ulang tahun yang ke 45. Aku menelponnya tengah malam untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi kayanya mama ga terllu ngeh kalo aku nelpon. Mama. Aku selalu kagum sama mama, dia itu perempuan yang paling hebat sepanjang masa. Mama hanya lulusan SMEA akan tetapi dia memiliki pemahaman seperti S1. prinsip emansipasi diterapkan dalam kehidupannya tanpa dia sendiri pernah belajar secara dalam ataupun memahami apa itu emansipasi. Tidak seperti Kartini yang emansipasi hanya dalam curhat sementara dia sendiri menikmati jadi istri ketiga. Padahal ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan. Dan bodohnya hanya gara-gara curhat dia diangkat jadi pahlawan emansipasi, kenapa ga mereka para prajurit perempuan yag diangkat. Maaf bu, bagi saya anda tidak pantas menyandang gelar tersebut dan mereka yang mengangkat ibu sebagai pahlawan itu berdasarkan subjektifitas sempit golongan yang kebetulan memegang kekuasaan.
Mama memberi kebebasan memilih pada diriku, karena dia yakin bahwa aku sudah bisa memilih. Tau mana baik dan buruk. Walau dia keberatan dengan pilihan ku untuk berjuang akan tetapi dia menghormati pilihanku.
Mama juga orang yang tidak berusaha mencitrakan dirinya ataupun mengaitkan segala sesuatu dengan religius tidak pada tempatnya, akan tetapi dia berkata denga keras ketika aku memprotes tuhan dengan tidak shalat seperti kebanyakan orang yang menggunakan simbol-simbol agama dan menjalankan ritual-ritualnya dibarengi juga perbuatan yang tidak agamawi. Bagi mama ia hanya hidup tenang dan rukun dengan keluarga dan tetangga itu sudah cukup dalam hal cita-cita yang tinggi, kekritisan, dan mungkin kemampuan intelektual yang lumayan aku mewarisi kharakter ayahku.
Hanya sayangnya dia tidak memahami konsekuensinya. Ketika ada konsekuensi itu dia marah. Tapi gapapalah, dia orangtua berhak marah. Ku punya cita-cita menempatkan mama di tempat yang tinggi. Aku janji akan membuat dia bangga, aku janji aku akan mencintai dan menjaganya seumur hidupku dan tidak akan pernah mengecewakannya.
Happy Birthday Mom

Saturday, September 03, 2005

Sesuatu Yang Tertunda

Iwan Fals in Collaboration with Padi
Disini aku sendiri menatap relung relung hidup
Aku merasa hidupku tak seperti yang kuinginkan
Terhampar begitu banyak warna kelam disisi hidupku
Seperti yang mereka tau, seperti yang mereka tau

Aku merasa disudutkan kenyataan
Menuntut diriku dan tak sanggup ku melawan
butakan mataku semua tentang keindahan
Menggugah takutku menantang sendiriku
Temui cinta lepaskan rasa
Temui cinta lepaskan rasa

Disini aku sendiri masih seperti dulu yang takut
Aku merasa hidupku pun surut tuk tumpukan harap
Tergambar begitu rupa, samar seperti yang kurasakan
Kenyataan itu pahit, kenyataan itu sangatlah pahit

Aku merasa disudutkan kenyataan
Menuntut diriku dan tak sanggup ku melawan
Butakan mataku semua tentang keindahan
Menggugah takutku menantang sendiriku
Temui cinta lepaskan rasa
Temui cinta lepaskan rasa