"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Wednesday, July 30, 2008

Exxon Terlibat Pelanggaran HAM

21 Juli 2008

Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan Exxon Mobil melanggar HAM berat di Aceh. Gergasi minyak dan gas ini terlibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan yang melindungi operasi perusahaan ini di Aceh.


Kasus ini berawal dari seringnya terjadi aksi kekerasan terhadap warga di sekitar kompleks Exxon Mobil di Lhokseumawe NAD pada masa pelaksanaan Daerah Operasi Militer di Aceh. Beberapa aktivis SIRA termasuk Faisal Ridha yang kala itu menjabat sebagai Anggota Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) berkumpul dan berdiskusi untuk membicarakan keterkaitan Exxon Mobil dengan peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut. “Seringkali terjadi kasus penyiksaan, pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan yang dilakukan aparat keamanan Indonesia yang menjaga ladang gas Exxon Mobil,” kata Faisal yang kini menjabat sebagai asisten gubernur NAD.


Aktifitas diskusi dan pengumpulan data ini dilakukan secara sangat rahasia dengan alasan keamanan. “Exxon adalah korporasi besar dan mereka bisa membayar militer Indonesia kala itu untuk melakukan apapun terhadap orang yang dianggap bertentangan,” jelas Ketua Departemen Hubungan Internasional di DPP Partai SIRA Helmy Nugraha.

Salah satu contoh kasus pelanggaran HAM itu terjadi pada bulan Januari 2001. Pada suatu pagi seorang pedagang sayur melintas di depan Kompleks Exxon Mobil yang dijaga sekelompok tentara. Si pedagang yang dirahasiakan namanya dengan inisial "John Doe I" sedang dalam perjalanan dengan mengendarai sepeda menuju ke pasar untuk berdagang. Entah kenapa tiba-tiba ia dihampiri oleh beberapa prajurit TNI Unit 113 yang tugas jaga di Exxon Mobil. Tanpa sebab yang jelas, mereka lalu menembak tangannya dan melemparkan granat ke arahnya, lalu meninggalkan korban dalam keadaan tak bernyawa. “Selama sembilan tahun DOM kamp Rancong dan Pos A 13 yang berada di kawasan Exxon adalah gerbang kematian bagi rakyat Acheh,” kata Helmy yang kala kasus itu meletus belum terlibat dalam kasus ini.

Faisal dan aktivis SIRA lainnya lalu mencoba kemungkinan untuk melakukan gugatan terhadap Exxon. Karena tak mungkin mengajukan gugatan itu di Indonesia, mereka mencoba membawanya ke luar negeri. Isu ini lalu digaungkan ke dunia internasional yang kemudian direspon oleh International Labor Right Fund (ILRF) –sebuah organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di Washington DC– dengan mengirimkan pengacara utamanya Terry Collingsworth untuk mengunjungi Aceh guna mengumpulkan bukti-bukti pada bulan Maret 2001.

Berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan tersebut, 11 korban dan ahli waris korban yang diwakili oleh ILRF mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Washington yang memulai sidangnya sejak bulan Mei 2002. Tuduhannya, Exxon Mobil terlibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan yang melindungi operasi perusahaan ini di Aceh. “UU yang digunakan adalah Alien Tort Claim Act yang memungkinkan warga asing untuk menggugat perusahaan Amerika Serikat karena pelanggaran HAM,” kata Faisal.

Pada bulan Mei 2002 majelis hakim memenangkan gugatan ini. Namun Exxon yang tak terima dengan keputusan tersebut menyatakan banding ke pengadilan tinggi Washington. Bulan Juni 2006 keluar keputusan dari pengadilan tinggi yang menyatakan Exxon tetap bersalah. Tak puas, Exxon maju ke tingkat Mahkamah Washington. Hasilnya, pada 15 Juni 2008 lalu Mahkamah Washington menguatkan keputusan pengadilan di tingkat sebelumnya. Raksasa migas itu dinyatakan terbukti terlibat dalam pelanggaran HAM Berat di Aceh. Namun hingga proses peradilan rupanya belum juga tuntas. Pasalnya hakim mahkamah belum memutuskan jumlah kompensasi yang mereka bayar kepada korban atau keluarga korban. “Majelis Hakim Agung Washington masih menghitung nilai yang harus dibayarkan Exxon Mobil kepada 11 Penggugat,” terang Helmy.

Tak mudah memang bagi majelis hakim untuk memutuskan kompensasi yang diberikan kepada para penggugat. Pasalnya jumlah kompensasi itu diperkirakan mencapai miliaran dollar. “Berdasarkan informasi yang saya terima dari tim pengacara, ada kasus sejenis yang baru selesai belasan tahun,” kata Faisal. Meski begitu ia optimis mahkamah agung dapat memutuskan masalah ini secara adil mengingat track record hakim Amerika pada pengadilan terdahulu.

Hingga saat ini identitas ke 11 penggugat ini sengaja dirahasiakan dengan alasan keamanan. Serupa dengan kasus gugatan korban HAM lainnya, korban HAM umumnya adalah pihak yang memang lemah dan rentan untuk terkena intimidasi atau upaya negatif dalam usaha menghentikan kasus oleh pihak tergugat. “Nama mereka harus dirahasiakan, data mereka disembunyikan. Yang boleh mengetahui, hanya pengacara penggugat dan pengadilan,” kata Helmy.

Dalam surat gugatan, mereka menggunakan inisial John Joe dan Jane Joe. Di Amerika Serikat, seseorang yang tidak dikenal identitasnya disebut dengan nama John Doe. Dan bila seseorang yang tidak dikenal identitasnya itu adalah seorang wanita maka disebut sebagai Jane Doe.

Sejatinya, upaya menggalang dukungan atas kasus ini di luar forum pengadilan juga dilakukan oleh kalangan pergerakan Aceh di luar negeri. Konsulat SIRA Amerika Serikat yang diketuai Munawar Liza Zein –sekarang Walikota Sabang– pada tahun 2004 sempat mengadakan seminar yang memaparkan fakta mengenai keterlibatan Exxon, kepada para pemegang Saham Exxon di Texas. Dalam forum itu kata Helmy, para pemegang saham tersebut menyatakan tidak sepakat dengan tindakan Exxon dan mendukung upaya-upaya penghentian suply Exxon kepada TNI. Namun tak jelas juga apakah ini ditelurkan dalam kebijakan perusahaan atau tidak. “Lebih lanjut silahkan konfirmasi ke Exxon apakah itu dibicarakan dalam rapat pemegang saham atau tidak,” tuturnya.

Atas putusan MA AS ini, Communication Manager Exxon Mobil Deva Rachman, mengaku sangat prihatin. Menurutnya, karena dalam hal keamanan di sekitar pabrik sebenarnya bukan tanggung-jawab Exxon. “Tapi tentu saja kami ingin menegaskan dalam hal operasional Exxon Mobil sangat menjunjung tinggi HAM. Ini berlaku baik untuk internal karyawan kami maupun masyarakat sekitar,” tutur Deva. Sayangnya ia tak mau berkomentar lebih jauh dengan alasan kasus tersebut ditangani Exxon pusat.

Inspirasi Bagi Perjuangan HAM
Keterlibatan Exxon ini tak lain karena memberikan jatah pengamanan proyek kepada TNI. Ini tak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga terjadi di daerah lain seperti Papua dan Kalimantan. Berdasarkan data dari Kontras Aceh Exxon memberikan subsidi kepada 17 pos kesatuan aparat. Exxon mengeluarkan Rp 5 milyar untuk dana keamanan, termasuk uang saku Rp 40 ribu per prajurit per hari, transportasi, penyediaan kantor, pos, barak, radio, telepon, dan mess.

Lembaga ini juga menyatakan Exxon membeli "kendaraan Militer" sebanyak 16 unit mobil anti peluru, jenis Jeep, Chevrolet Suburbn, Toyota Land Cruiser, Land Rover, Defender Gearbox dan mercedez yang harganya berkisar Rp. 1 Miliar hingga Rp. 3 Miliar/unit untuk keperluan militer. “Data-data ini diajukan sebagai alat bukti oleh pengacara penggugat di pengadilan,” kata Helmy.

Direktur International Forum For Acheh Robert Jeresky dalam laporannya tertanggal 25 Juni 2001, menyebut kekerasan makin menggila setelah Exxon Mobil menekan pemerintah melahirkan Inpres No.IV/2001 dan menyebut GAM sebagai gerakan separatis. “Semoga kemenangan ini dapat menjadi inspirasi bagi perjuangan penegakan HAM di tingkat nasional,” harapnya.

Dalam versi yang berbeda, tulisan ini diterbitkan di Majalah TRUST Edisi 39 Th. VI