"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Sunday, August 28, 2005

Perpisahan Dua Sahabat

Hari ini minggu 28 Agustus 2005, Ikli seorang kawan seperjuangan terbaik yang pernah ada dalam hidupku selama tiga tahun ini akhirnya pergi untuk PTT ke Jambi. Aku ga nyangka kalau akhirnya kami akan berpisah……sudah banyak hal yang kami lalui bersama, melebihi yang kulalui bersama dhee.
Perjumpaan kami pertama kali adalah ketika Bang Ikli akan wisuda Sarjana Kedokteran pertengahan atau akhir 2002 aku lupa jelasnya. Kami bertemu di Bandung Tepatnya di Asrama, lebih detil lagi di kamar Zahri, Ikli memang kawan satu kampung dengan Zahri di Langsa. Waktu itu kawan ni belum punya HP dan dia banyak bertanya mengenai kartu seluler dan seluk beluk HP sama aku. Hehehe jadi lucu kalau ingat itu. Dari situ berkembang kami main game computer bersama. Waktu kami main Red Alert –game perang yang cukup seru— sambil denger musik, Slank waktu itu. Kami diskusi tentang banyak hal dan ternyata kami menemukan banyak kesamaan baik dalam pemikiran maupun segala hal. Tak lama kemudian bang Ikli pindah ke Asrama karena dia Koass di RS Hasan Sadikin. Kami pun tambah akrab, ketika aku punya kamar baru dan dulu aku masih percaya dengan yang namanya hantu, bang Ikli mau temani aku. Oh ya kami dulu sempat Trio, dengan Martunus, yang sekarang jadi Dosen Unsyiah dan melanjutkan S2 di Oxford university Inggris atas beasiswa Unsyiah kalau ga salah.
Kami bertiga selalu berkumpul ngobrol ngalor ngidul malam hari. Beberapa waktu kemudian Martunus pergi ke Jakarta karena dapat pekerjaan sebagai akuntan di perusahaan swasta di Jakarta. Kemudian aku pindah ke kamar Ikli, kami makin klop, makan bersama, beli beras sama-sama intinya kami kenyang dan lapar bersama, satu-satunya hiburan kami Cuma radio butut warisan Martunus radio kesenangan kami dulu Fire FM dengan penyiarnya DJ Nadiva Iuliano. Kami bahkan sempat memprotes tema acaranya yang berbau bias gender. Ketika sms kami dibaca kami Cuma ketawa-tawa.
Waktu itu kami berbeda paham mengenai Poligami dalam pacaran, kalau aku berpikir tidak salah bila seseorang berpacaran lebih dari satu yang penting kalau nikah cukup satu, sementara bagi bang ikli Pcaran adalah simulasi pernikahan, jadi ketika seseorang berpoligami ketika pacaran maka kemungkinan besar dia akan melakukan hal yang sama ketika menikah, bahkan aku sempat “dibantai” di ruang TV asrama ketika aku mendekati salah satu anak HMI yang lumayan cantik, anak Asrama tahu kalau aku sudah punya Dhee. Tapi perbedaan ini tidak membuat kami pecah. Untuk ukuran orang Acheh dia cukup terbuka dan liberal., bahkan ketika aku mulai tidak percaya dengan Tuhan dan semua anak asrama mengecamku, Cuma bang Ikli yang tidak mengecamku
Bang Ikli tidak pernah berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan perjuangan kami. Akan tetapi dia menunjukan kesepakatannya dengan cara lain. Kalau dia sudah mengkritik aku jamin telinga siapa pun akan merah mendengar kritikannya yang memang pedas.
Kami pun sempat marahan hanya karena aku tidak memberi pilihan mengenai ayam yang kubeli, kadang-kadang prinsipnya aneh, tapi memang benar. Aku hanya tidak memahami karena aku dibesarkan dengan budaya yang berbeda. Lalu aku minta maaf dan cukup susah untuk minta maaf sama kawan yang satu ini. Bagi dia maaf itu persoalan mudah, yang penting apakah orang yang bersalah tersebut sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya. Dan itu juga menjadi pelajaran penting buatku.
Beberapa bulan setelah Bang Tunus pergi ke Jakarta, adik sepupunya Hafid datang ke Bandung untuk kuliah di Tehnik Geofisika ITB, akhirnya kami kembali menjadi Trio.
Kemudian bang Ikli pindah dari Asrama, kost di Sukajadi alasannya dia ga enak dengan kesibukannya dengan belajar sementara Asrama banyak kegiatan yng harus diikuti, rapat, diskusi, entah apa-apa lah yang kadang-kadang melupakan kewajiban anak asrama sebagai Mahasiswa. Sempat lama kami tidak berhubungan setelah itu, kemudian ku sms dia “woi sombong lu mentang2 udah kost, ga ada sms-sms, kalau lo susah siapa yang pertama kali Bantu?” dan ini cukup efektif, ga lama kawan tu sms meminta kami (aku dan hafid) untuk dating ke kostnya, akhirnya kami datang dan nginap di kostnya.
Sejak saat itu kami sering nginap di kostnya. Sering aku bangun sudah ada kopi buatku. Kami berdua memang maniak kopi dan rokok. Tiada hari kami lalui tanpa kopi minimal tiga kali dan rokok yang sudah seperti cerobong Kereta Api. oh ya kami juga punya “mama” sebenarnya namanya bu cekap, kami ga tau nama aslinya, hanya karena ibu itu sering bertanya ketika menyendok nasi “Cekap cep?” dalam bahasa Indon artinya Cukup de? Kalau kita bilang tambah dia akan menambahnya tanpa mengenakan charge tambahan. Warungnya dekat kost bang Ikli makanannya sehat, bersih dan yang paling penting bagi kami sangat murah bayangkan nasi dengan Ayam hanya Rp.2500. oh ya aku sering diajak menemani bang ikli jaga di klinik, kalau aku menyebutnya “malpraktik” dari mulai di buah batu, sampai di rancaekek. Bahkan ketika aku terancam untuk tertangkap akibat aktivitas perjuangan Acheh, aku ditampung di kostnya.
Ketika aku sakit dia bertindak seperti dokter pribadiku, selalu mengingatkan munum obat, bahkan ketika aku tidak punya uang, dia membelikan obat buatku, sampai kemarin ketika hampir seluruh tubuhku gatal-gatal karena terkena Scabies, dia yang membelikanku Salep Scabicid Cream, dan sekarang lumayan sudah hampir sembuh.
Oh ya, kami kemudian menjadi 4 sekawan dengan datangnya Balyan ke Bandung. Adik sepupu Ikli juga. Terakhir kami foto bersama-sama pada hari Wisuda Ikli sebagai Dokter. Kemudian, aku bahkan bela-bela ga mandi untuk datang ke wisuda bang Ikli, karena telat. Akhirnya aku foto tanpa mandi hehehehe.
Ketika dia mendaftar PTT di DEPKES Jakarta pun aku diminta untuk mengantarnya. Dia sering mampir ke rumahku.
Kami sering berdiskusi tentang sosialisme dan komunisme dan kami banyak sepakat dalam berbagai hal tentang sosialisme dan komunisme. Terakhir waktu aku bawa cd lagu-lagu perjuangan kelompok kiri, dia tertawa-tawa aku ga tau kalo dia senang dengan lagu. Yang paling dia suka adalah lagu Sunarso Pesan sang ibu. Lagu ini sebetulnya Puisi dengan di latarbelakangi lagu Darah Juang, akan tetapi Sunarso penyair gendeng itu menambahkan dengan puisi-puisi radikalnya yang serius namun lucu.
Hari-hari terakhir sebelum bang Ikli pergi dia selalu main ke kost ku, dan main Sim City 4 juga Republic the revolution. Juga nonton film bersama, American Pie, the Godfather, Lawrence of Arabia, Band of Brother, The Pianist, King Arthur dsb. Beberapa hari sebelum bang Ikli pergi, dia mewariskan beberapa perabotannya untuk aku dan Balyan. Dia terlalu baik….aku sempat sms sama dhee, mengatakan kalau aku sedih Bang ikli akan pergi meninggalkan Bandung dan mungkin ga akan kembali, kecuali hanya untuk main-main. Dalam pikiranku Dhee adalah salah satu kawan bang Ikli, walaupun kami putus, akan tetapi bang ikli pantas untuk mendapat ucapan paling tidak selamat jalan dari Dhee, tapi Dhee bahkan tidak sms bang Ikli sama sekali, dia hanya menyarankan aku untuk kembali pindah ke Asrama supaya ada temen. Kukatakan aku sudah biasa, Cinta datang dan pergi sesuka hati, tapi kita tidak akan pernah kehilangan/ditinggalkan sahabat sejati. Karena sesungguhnya cinta seorang sahabatlah cinta sejati, dia tidak menuntut apapun kecuali persahabatan itu sendiri. Aku cukup marah dengan Dhee, sampai hari ini aku masih menghormati kakaknya fibie, bahkan beberapa waktu lalu bahkan masih sms fibie akan tetapi dia sama sekali tak menghormati Bang Ikli yng bahkan pernah menolong dia ketika kami bertengkar, dia bisa curhat ke bang Ikli. Bahkan kami sering bertemu di kost Bang ikli. Mungkin Dhee belum memahami sepenuhnya arti persahabatan.
Tadi pagi dia pergi, aku mengantarnya sampai ke dalam Kereta Api, aku membawakan kopernya yang berat. Aku dalam suasana haru tadi pagi. Ketika menunggu kereta jalan di pintu dia sempat bertanya “kapan my kita bisa ketemu lagi?” sedikit bergurau aku bilang, “kalau Acheh sudah merdeka” Dia tersenyum. Ketika kereta berjalan aku menyalami dia dan secara refleks aku memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Dia berpesan “hati-hati ya my, selesaikan sekolah” “oke bang” ku jawab. Kami bersalaman lagi Sukses ya bang! Ketika aku pulang air mata ku sempat menetes, sampai-sampai rokok yang akan kuhisap jatuh bahkan ketika mengetik akhir blog ini, tanpa sadar aku menangis………….yah menangis sesenggukan, bukan hanya meneteskan air mata sedih yang paling dalam yang pernah kurasakan. Melebihi sedih ketika dikhianati.
Semoga hidup Abang bahagia dan sukses, abang bukan sekedar kawan, tapi juga Abang dalam arti yang sesungguhnya. Terima Kasih atas apa yang abang beri ke aku, Semoga Persahabatan kita tidak akan pernah berubah.
Ada pertemuan dan ada perpisahan tapi seperti kubilang, kita tidak akan pernah kehilangan atau ditinggalkan sahabat sejati. Selamat Jalan Bang……aku ga mau tahu, pertemuan kita nanti haruslah di tanah Acheh.

Monday, August 15, 2005

Mou RI-GAM (Malay)

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.
Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.

Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan
diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31
Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

1.2. Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.

1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006.
1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.
1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat
3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti.
5Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.
5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.

A.n. Pemerintah Republik Indonesia,

Hamid Awaluddin
(Menteri Hukum dan HAM)

A.n. Gerakan Aceh Merdeka,

Malik Mahmud
(Pimpinan)

Disaksikan oleh,

Martti Ahtisaari
Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative
Fasilitator proses negosiasi

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE FREE ACEH MOVEMENT

The Government of Indonesia (GoI) and the Free Aceh Movement (GAM) confirm their commitment to a peaceful, comprehensive and sustainable solution to the conflict in Aceh with
dignity for all.
The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the
Acehnese people can be manifested through a fair and democratic process within the unitary
state and constitution of the Republic of Indonesia.
The parties are deeply convinced that only the peaceful settlement of the conflict will enable
the rebuilding of Aceh after the tsunami disaster on 26 December 2004 to progress and succeed.
The parties to the conflict commit themselves to building mutual confidence and trust.
This Memorandum of Understanding (MoU) details the agreement and the principles that will
guide the transformation process.
To this end the GoI and GAM have agreed on the following:

1 Governing of Aceh
1.1 Law on the Governing of Aceh
1.1.1 A new Law on the Governing of Aceh will be promulgated and will enter into force as
soon as possible and not later than 31 March 2006.
1.1.2 The new Law on the Governing of Aceh will be based on the following principles:
a) Aceh will exercise authority within all sectors of public affairs, which will be administered in conjunction with its civil and judicial administration, except in the fields of foreign affairs, external defence, national security, monetary and fiscal matters, justice and freedom of religion, the policies of which belong to the Government of the Republic of Indonesia in conformity with the Constitution.
b) International agreements entered into by the Government of Indonesia which relate to matters of special interest to Aceh will be entered into in consultation with and with the consent of the legislature of Aceh.
c) Decisions with regard to Aceh by the legislature of the Republic of Indonesia will be taken in consultation with and with the consent of the legislature of Aceh.
d) Administrative measures undertaken by the Government of Indonesia with regard to Aceh will be implemented in consultation with and with the consent of the head of the Aceh administration.
1.1.3 The name of Aceh and the titles of senior elected officials will be determined by the legislature of Aceh after the next elections.
1.1.4 The borders of Aceh correspond to the borders as of 1 July 1956.
1.1.5 Aceh has the right to use regional symbols including a flag, a crest and a hymn.
1.1.6 Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions and customs of the people of Aceh and reflecting contemporary legal requirements of Aceh.
1.1.7 The institution of Wali Nanggroe with all its ceremonial attributes and entitlements
will be established.

1.2 Political participation
1.2.1 As soon as possible and not later than one year from the signing of this MoU, GoI agrees to and will facilitate the establishment of Aceh-based political parties that meet national criteria. Understanding the aspirations of Acehnese people for local political parties, GoI will create, within one year or at the latest 18 months from the signing of this MoU, the political and legal conditions for the establishment of local political parties in Aceh in consultation with Parliament. The timely implementation of this MoU will contribute positively to this end.
1.2.2 Upon the signature of this MoU, the people of Aceh will have the right to nominate
candidates for the positions of all elected officials to contest the elections in Aceh in
April 2006 and thereafter.
1.2.3 Free and fair local elections will be organised under the new Law on the Governing of
Aceh to elect the head of the Aceh administration and other elected officials in April 2006 as well as the legislature of Aceh in 2009.
1.2.4 Until 2009 the legislature of Aceh will not be entitled to enact any laws without the
consent of the head of the Aceh administration.
1.2.5 All Acehnese residents will be issued new conventional identity cards prior to the elections of April 2006.
1.2.6 Full participation of all Acehnese people in local and national elections will be guaranteed in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia.
1.2.7 Outside monitors will be invited to monitor the elections in Aceh. Local elections may be undertaken with outside technical assistance.
1.2.8 There will be full transparency in campaign funds.

1.3 Economy
1.3.1 Aceh has the right to raise funds with external loans. Aceh has the right to set interest
rates beyond that set by the Central Bank of the Republic of Indonesia.
1.3.2 Aceh has the right to set and raise taxes to fund official internal activities. Aceh has
the right to conduct trade and business internally and internationally and to seek
foreign direct investment and tourism to Aceh.
1.3.3 Aceh will have jurisdiction over living natural resources in the territorial sea
surrounding Aceh.
1.3.4 Aceh is entitled to retain seventy (70) per cent of the revenues from all current and
future hydrocarbon deposits and other natural resources in the territory of Aceh as
well as in the territorial sea surrounding Aceh.
1.3.5 Aceh conducts the development and administration of all seaports and airports within
the territory of Aceh.
1.3.6 Aceh will enjoy free trade with all other parts of the Republic of Indonesia unhindered
by taxes, tariffs or other restrictions.
1.3.7 Aceh will enjoy direct and unhindered access to foreign countries, by sea and air.
1.3.8 GoI commits to the transparency of the collection and allocation of revenues between
the Central Government and Aceh by agreeing to outside auditors to verify this
activity and to communicate the results to the head of the Aceh administration.
1.3.9 GAM will nominate representatives to participate fully at all levels in the commission
established to conduct the post-tsunami reconstruction (BRR).

1.4 Rule of law
1.4.1 The separation of powers between the legislature, the executive and the judiciary will
be recognised.
1.4.2 The legislature of Aceh will redraft the legal code for Aceh on the basis of the universal
principles of human rights as provided for in the United Nations International Covenants on Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights.
1.4.3 An independent and impartial court system, including a court of appeals, will be established for Aceh within the judicial system of the Republic of Indonesia.
1.4.4 The appointment of the Chief of the organic police forces and the prosecutors shall
be approved by the head of the Aceh administration. The recruitment and training of
organic police forces and prosecutors will take place in consultation with and with the consent of the head of the Aceh administration in compliance with the applicable national standards.
1.4.5 All civilian crimes committed by military personnel in Aceh will be tried in civil courts
in Aceh.

2 Human rights
2.1 GoI will adhere to the United Nations International Covenants on Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights.
2.2 A Human Rights Court will be established for Aceh.
2.3 A Commission for Truth and Reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconciliation measures.

3 Amnesty and reintegration into society
3.1 Amnesty
3.1.1 GoI will, in accordance with constitutional procedures, grant amnesty to all persons
who have participated in GAM activities as soon as possible and not later than within 15 days of the signature of this MoU.
3.1.2 Political prisoners and detainees held due to the conflict will be released unconditionally as soon as possible and not later than within 15 days of the signature of this MoU.
3.1.3 The Head of the Monitoring Mission will decide on disputed cases based on advice from the legal advisor of the Monitoring Mission.
3.1.4 Use of weapons by GAM personnel after the signature of this MoU will be regarded as a violation of the MoU and will disqualify the person from amnesty.

3.2 Reintegration into society
3.2.1 As citizens of the Republic of Indonesia, all persons having been granted amnesty or released from prison or detention will have all political, economic and social rights as well as the right to participate freely in the political process both in Aceh and on the national level.
3.2.2 Persons who during the conflict have renounced their citizenship of the Republic of
Indonesia will have the right to regain it.
3.2.3 GoI and the authorities of Aceh will take measures to assist persons who have
participated in GAM activities to facilitate their reintegration into the civil society.
These measures include economic facilitation to former combatants, pardoned political prisoners and affected civilians. A Reintegration Fund under the administration of the authorities of Aceh will be established.
3.2.4 GoI will allocate funds for the rehabilitation of public and private property destroyed
or damaged as a consequence of the conflict to be administered by the authorities of Aceh.
3.2.5 GoI will allocate suitable farming land as well as funds to the authorities of Aceh for
the purpose of facilitating the reintegration to society of the former combatants and the compensation for political prisoners and affected civilians. The authorities of Aceh will use the land and funds as follows:
a) All former combatants will receive an allocation of suitable farming land, employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.
b) All pardoned political prisoners will receive an allocation of suitable farming land, employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.
c) All civilians who have suffered a demonstrable loss due to the conflict will receive an allocation of suitable farming land, employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.
3.2.6 The authorities of Aceh and GoI will establish a joint Claims Settlement Commission to deal with unmet claims.
3.2.7 GAM combatants will have the right to seek employment in the organic police and organic military forces in Aceh without discrimination and in conformity with national standards.

4 Security arrangements
4.1 All acts of violence between the parties will end latest at the time of the signing of
this MoU.
4.2 GAM undertakes to demobilise all of its 3000 military troops. GAM members will not
wear uniforms or display military insignia or symbols after the signing of this MoU.
4.3 GAM undertakes the decommissioning of all arms, ammunition and explosives held
by the participants in GAM activities with the assistance of the Aceh Monitoring Mission (AMM). GAM commits to hand over 840 arms.
4.4 The decommissioning of GAM armaments will begin on 15 September 2005 and will be executed in four stages and concluded by 31 December 2005.
4.5 GoI will withdraw all elements of non-organic military and non-organic police forces from Aceh.
4.6 The relocation of non-organic military and non-organic police forces will begin on 15 September 2005 and will be executed in four stages in parallel with the GAM decommissioning immediately after each stage has been verified by the AMM, and concluded by 31 December 2005.
4.7 The number of organic military forces to remain in Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to remain in Aceh after the relocation is 9100.
4.8 There will be no major movements of military forces after the signing of this MoU. All movements more than a platoon size will require prior notification to the Head of the Monitoring Mission.
4.9 GoI undertakes the decommissioning of all illegal arms, ammunition and explosives held by any possible illegal groups and parties.
4.10 Organic police forces will be responsible for upholding internal law and order in Aceh.
4.11 Military forces will be responsible for upholding external defence of Aceh. In normal peacetime circumstances, only organic military forces will be present in Aceh.
4.12 Members of the Aceh organic police force will receive special training in Aceh and overseas with emphasis on respect for human rights.

5 Establishment of the Aceh Monitoring Mission
5.1 An Aceh Monitoring Mission (AMM) will be established by the European Union and ASEAN contributing countries with the mandate to monitor the implementation of the commitments taken by the parties in this Memorandum of Understanding.
5.2 The tasks of the AMM are to:
a) monitor the demobilisation of GAM and decommissioning of its armaments,
b) monitor the relocation of non-organic military forces and non-organic police troops,
c) monitor the reintegration of active GAM members,
d) monitor the human rights situation and provide assistance in this field,
e) monitor the process of legislation change,
f) rule on disputed amnesty cases,
g) investigate and rule on complaints and alleged violations of the MoU,
h) establish and maintain liaison and good cooperation with the parties.
5.3 A Status of Mission Agreement (SoMA) between GoI and the European Union will be signed after this MoU has been signed. The SoMA defines the status, privileges and immunities of the AMM and its members. ASEAN contributing countries which have been invited by GoI will confirm in writing their acceptance of and compliance with the SoMA.
5.4 GoI will give all its support for the carrying out of the mandate of the AMM. To this end, GoI will write a letter to the European Union and ASEAN contributing countries expressing its commitment and support to the AMM.
5.5 GAM will give all its support for the carrying out of the mandate of the AMM. To this end, GAM will write a letter to the European Union and ASEAN contributing countries expressing its commitment and support to the AMM.
5.6 The parties commit themselves to provide AMM with secure, safe and stable working conditions and pledge their full cooperation with the AMM.
5.7 Monitors will have unrestricted freedom of movement in Aceh. Only those tasks which are within the provisions of the MoU will be accepted by the AMM. Parties do not have a veto over the actions or control of the AMM operations.
5.8 GoI is responsible for the security of all AMM personnel in Indonesia. The mission personnel do not carry arms. The Head of Monitoring Mission may however decide on an exceptional basis that a patrol will not be escorted by GoI security forces. In that case, GoI will be informed and the GoI will not assume responsibility for the security of this patrol.
5.9 GoI will provide weapons collection points and support mobile weapons collection teams in collaboration with GAM.
5.10 Immediate destruction will be carried out after the collection of weapons and ammunitions. This process will be fully documented and publicised as appropriate.
5.11 AMM reports to the Head of Monitoring Mission who will provide regular reports to the parties and to others as required, as well as to a designated person or office in the European Union and ASEAN contributing countries.
5.12 Upon signature of this MoU each party will appoint a senior representative to deal with all matters related to the implementation of this MoU with the Head of Monitoring Mission.
5.13 The parties commit themselves to a notification responsibility procedure to the AMM, including military and reconstruction issues.
5.14 GoI will authorise appropriate measures regarding emergency medical service and
hospitalisation for AMM personnel.
5.15 In order to facilitate transparency, GoI will allow full access for the representatives of
national and international media to Aceh.

6 Dispute settlement
6.1 In the event of disputes regarding the implementation of this MoU, these will be resolved promptly as follows:
a) As a rule, eventual disputes concerning the implementation of this MoU will be resolved by the Head of Monitoring Mission, in dialogue with the parties, with all parties providing required information immediately. The Head of Monitoring Mission will make a ruling which will be binding on the parties.
b) If the Head of Monitoring Mission concludes that a dispute cannot be resolved by the means described above, the dispute will be discussed together by the Head of Monitoring Mission with the senior representative of each party. Following this, the Head of Monitoring Mission will make a ruling which will be binding on the parties.
c) In cases where disputes cannot be resolved by either of the means described above, the Head of Monitoring Mission will report directly to the Coordinating Minister for Political, Law and Security Affairs of the Republic of Indonesia, the political leadership of GAM and the Chairman of the Board of Directors of the Crisis Management Initiative, with the EU Political and Security Committee informed. After consultation with the parties, the Chairman of the Board of Directors of the Crisis Management Initiative will make a ruling which will be
binding on the parties.

GoI and GAM will not undertake any action inconsistent with the letter or spirit of this
Memorandum of Understanding.

Signed in triplicate in Helsinki, Finland on the 15 of August in the year 2005.
On behalf of the Government of the Republic of Indonesia, On behalf of the Free Aceh Movement,

Hamid Awaludin Malik Mahmud
Minister of Law and Human Rights Leadership

As witnessed by

Martti Ahtisaari
Former President of Finland
Chairman of the Board of Directors of the Crisis Management Initiative
Facilitator of the negotiation process

Monday, August 08, 2005

Pernyataan Sikap Masyarakat Acheh Se-Jawa Tentang Proses Perdamaian Acheh

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT ACHEH SE JAWA TENTANG PROSES PERDAMAIAN ACHEH
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia.
Wakil Presiden Republik Indonesia
Pimpinan Gerakan Acheh Merdeka.
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI)
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI)
Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI).
Panglima TNI
Kapolri
Jaksa Agung RI.
Pimpinan Partai Politik.
Gubernur, Bupati, Walikota se NAD.
Pimpinan media cetak dan elektronika.
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, kami Masyarakat Acheh yang tersebar di pulau Jawa, setelah mengadakan musyawarah warga Acheh se Jawa yang dilaksanakan di Hotel Horison Bandung pada tanggal 7 Agustus 2005 membahas masalah Rencana Perdamaian Acheh berdasarkan Kesepakatan (MoU) Helsinki, dengan ini menyatakan :
1. Kami masyarakat Acheh telah sangat lama mendambakan terciptanya perdamaian yang abadi di Nanggroe Acheh Darussalam. Kami rakyat Acheh baik yang ada di Acheh maupun di luar Aceh telah sangat lama menderita lahir batin akibat konflik bersenjata berkepanjangan yang terjadi di Acheh yang telah berlangsung sejak Perang Acheh melawan Belanda tahun 1873 sampai sekarang. Konflik bersenjata ini telah menyebabkan penderitaan rakyat Acheh tiada taranya dan telah menyebabkan daerah Acheh dan warganya tertinggal dalam segala bidang kehidupan.
2. Karena itu kami Warga Acheh yang sekarang tinggal di Pulau Jawa mendukung sepenuhnya penyelesaian konflik Acheh secara damai, adil dan bermartabat sesuai dengan kesepakatan (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan Pimpinan Gerakan Acheh Merdeka (GAM).
3. Kami berkeyakinan perdamaian yang langgeng dan abadi (permanen) di Acheh hanya dapat diciptakan apabila penyelesaian masalah Acheh dilakukan secara damai, adil dan bermartabat.
4. Kami mengharapkan dalam penyelesaian damai masalah Acheh agar Pemerintah bersikap bijaksana dan luwes dan memperhatikan secara sungguh-sungguh hak rakyat Acheh untuk mengatur dirinya sendiri secara seluas-luasnya dalam bidang agama, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sosial politik sehingga Acehh dapat mengejar ketinggalannya dari daerah lain di Indonesia sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.
5. Kami menyerukan kepada seluruh komponen bangsa agar bersama-sama memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada upaya perdamaian ini dengan bersikap arif dan bijaksana, penuh kesabaran dan toleransi.
6. Apabila masalah Acheh dapat diselesaikan secara damai dan permanen berarti salah satu masalah bangsa yang pelik yang telah menyita bagitu banyak korban jiwa dan harta benda bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Dalam implementasi kesepakatan (MoU) Helsinki ini kami menyerukan sbb:
1. Agar semua pihak yang bersangkutan/terlibat melaksanakan kesepakatan ini dengan ikhlas, jujur dan penuh semangat islah dan silaturrahmi
2. Pemerintah RI dan Pimpinan GAM harus waspada dan mengantisipasi kemungkinan adanya kesulitan teknis, provokasi dan hambatan-hambatan yang mungkin timbul yang dapat menggagalkan usaha damai ini.
3. Pemerintah RI dan Pimpinan GAM agar menindak dengan tegas aparatur pelaksana masing-masing yang tidak sejalan dengan kebijakan perdamaian ini.
4. Sepakat membentuk Forum Masyarakat Acheh Se-Jawa untuk mengadakan pertemuan secara kontinue dan periodik untuk membahas masalah-masalah yang timbul dalam tahap implementasi dan sosialisasi dari proses perdamaian di Acheh.
Wabillahi taufiq walhidayah
Bandung 7 Agustus 2005
Kami Warga Acheh Se Jawa
Prof. Dr. H.T.Dzulkarnain Amin, MA. Ketua Penasehat KAMABA ............................
Ir. Kamal A. Arif, M.Eng Geuchik KAMABA Bandung ....................................
Dr. Said Aziz, M.Sc Ketua Panitia Forum Masyarakat Acheh Se-Jawa ............
T. Safli Didoh Pengurus Pusat TIM ………………………
Tgk. Muhazzaman Pengurus HIMA, Yogyakarta ………………………
Fauzi Fz Ketua Umum IPPMA, Malang ………………………
H. Kamsani KTR (Keluarga Tanah Rencong) Jatim, Surabaya …….
M. Nazaruddin S.S., M.Si KYPA, Yogyakarta ………………………….
Nurzahri IKAPA, Bandung ………………………….
Zulfikar PMKTR, Surabaya ………………………….
T.Zulkarnaini SAJAK, Jakarta .........................................
Yusaini IPAS, Semarang .........................................
Khairurridha TPA, Yogyakarta ........................................
Barmawi S.Ag. HIMPASAY, Yogyakarta .........................................
Drs. Mahyuszar, M.Si IMPS Bandung .........................................

Saturday, August 06, 2005

7 Hours to D-Day

aku lagi di warnet daun malam ini bereng Eci, coba menghubungi wartawan via e-mail, tapi gagal karena semuanya file yang tersimpan dalam hard disk wig hilang entah terhapus atau apa aku ga tau. tiba-tiba teringat dia, kemarin kumaki dia dengan kata-kata kasar. ingin rasanya aku ketemu tapi rasanya sayang, marah dan dendam menyatu tak terpisahkan. aku ga mau membuat segalanya lebih buruk. akhirnya aku telepon dia tapi ga tau mo ngomong apa, yang jelas dia hampir sampe kosan katanya. aku berbohong dengan mengatakan aku di asrama, dan aku ga tau apa alasanku untuk berbohong pikiran ini cuma kosong, cemas besok wartawan tidak datang. semoga tugasku berhasil.
katanya besok YS mau datang, "panglima" yang satu ini memang top. walaupun berpangkat dia ga segan-segan melayaniku. memang dalam garis politik yang telah ditetapkan oleh PNA sudah jelas militer harus tunduk kepada sipil. besok gantian aku janji akan servis dia keliling kota ini. semoga ada waktu luang.

Tuesday, August 02, 2005

The last 45 Minutes

Last Night I just read a True story based Short Story. the title is The Last 45 minutes. it was wrote by Eci. U know, when I read it, my heart was shaking. i feel so sad and I wasn't realize when my tears dropped.
An article with Tsunami disaster background is always become a sad story. Eci, i' didn't knew that u are once of the Tsunami victims. u covered it by your smile. I could understand if you had trauma in making new realationship. but I hope, your American Achehnese could heals your trauma.
Keep Struggle for Acheh and keep writing, I will publish your short story if you want.
Never Give Up The Fight!!!