"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Thursday, September 29, 2005

Bandung Paris Banged!!!

Beberapa waktu lalu ketika aku mendapat tugas untuk mencari dokumen ad/art organisasi yang entah kemana, aku kembali membuka dokumen-dokumen lama sepanjang kuliah.
Banyak dokumen penting yang kubiarkan tertumpuk dalam dus di lemari tua warisan bang Ical. Banyak tulisan-tulisan aku yang kubiarkan begitu saja.
Saat ini aku sering mencaci tulisan yang dimaksudkan untuk penyadaran masayarakat akan tetapi dibuat dengan bahasa-bahasa langit yang justru sulit dimengerti oleh masyarakat sendiri. Tanpa kusadari ketika aku membuka kembali file-file tua itu, aku juga pernah mengalami hal tersebut.
Banyak tulisan-tulisanku menggunakan bahasa-bahasa langit. Akhirnya setelah kupikir semua orang harus menjalani prosesnya sendiri sampai pada akhirnya kita mengerti sendiri siapa kita, apa yang harus kita lakukan.
Tidak hanya itu banyak kenangan-kenangan lama kutemukan tertumpuk didus tersebut. Surat-surat cinta yang sudah lama dan tidak valid lagi. Foto-foto mesra yang dibuat pada masa-masa bahagia dulu, ketika aku aksi bagi-bagi bunga untuk Acheh pada malam minggu dengan seseorang yng pernah amat kusayang. Waktu kami aksi sangat unik, kami pakai obor, jalan menuju pusat keramaian kota Bandung Jalan Dago.
Waktu itu dia baru-baru saja tiba di Bandung udah kuajak aksi. Habis itu aku antar dia kerumah kawannya di tegallega yang lewat gang-gang sempit waktu malam itu hujan deras dan pulangnya aku terpaksa jalan kaki dari tegallega ke Asrama. Well that is her first action that she joined.
4 tahun di Bandung, banyak hal kualami dalam keadaan manis pahit, susah senang, aman, bahaya. Ga nyangka kalau aku sampai “setua” ini.
Fase Bandung akan menjadi suatu fase yang akan sangat mempengaruhi kehidupanku ke depan. Disinilah aku berkenalan dengan orang-orang pergerakan, disinilah, aku melakukan aksi disinilah aku meperjuangkan Acheh, disinilah aku berjumpa muka dengan orang yang pernah dan masih kusayangi sampai saat ini. Disinilah aku pernah mengalami masa paling romantis disini pulalah aku pernah mengalami masa yang paling pahit dalam sebuah hubungan cinta. Disini aku menemukan persahabatan, lebih dari sekedar definisinya, disini aku menemukan perjuangan, disini aku belajar dan berpraktek apa itu politik. Disini aku menemukan pragmatisme yang dibungkus dengan idealisme, idealisme yang disembunyikan dalam sebuah pragmatisme. Pendek kata, Bandung adalah awal dari segala kehidupanku di Acheh nanti.
Bandung dengan segala keindahan juga kebobrokan Pemkotnya mengkorupsi dana perbaikan jalan dan trotoar membuat kota ini memiliki warna sendiri. Keindahan dan keburukan memiliki batas yang kabur disini. Trotoar di Bandung sebelum Konferensi Asia Afrika 2005 sangat jelek, padahal aku yakin seyakin-yakinnya kalau dana untuk perbaikan trotoar dan jalan itu selalu ada. Akan tetapi jeleknya trotoar dan jalan di Bandung ini hilang ketika aku melihat wanita cantik yang berjalan diatasnya serta suasana teduh yang dulu menjadi ciri khas kota Bandung.
Bandung dengan segala romantismenya mungkin dapat dikatakan sebagai “Parijs Van Java”dalam pengertian bahwa jangan samakan Bandung dengan kota Paris dengan segala kemegahann Eiffelnya akan tetapi untuk sebuah kota yang ada di pulau Jawa yang dikelola oleh pemerintahan yang korup, Bandung bolehlah dibilang Paris banged……

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home