"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Friday, September 09, 2005

Quo Vadis Kemerdekaan Acheh*

Kawan-kawan yang kucintai
Hari ini perdamaian yang entah semu atau abadi, telah bertamu ke Acheh. Kegembiraan segera menyelimuti bagi para penghuni rumah Acheh, berbagai hidangan kita sediakan untuk sang “tamu” dan kita mengerahkan berbagai usaha untuk sang tamu agar tinggal selamanya di rumah Acheh.
Namun saya ingin mempertanyakan betulkah hanya tamu perdamaian yang kita inginkan? Benarkah hanya tamu “self government” yang datang satu paket dengan damai? Bagi saya pribadi tidak!.
Damai dan Self Government hanyalah alat untuk mencapai tujuan hakiki rakyat Acheh. Jangan pernah kita lupakan sejarah bahwa orang tua kita Alm.teungku Daud Beuereuh juga pernah mengalami peristiwa yang sama. Saya percaya dengan filosofi sejarah yang mengatakan “sejarah berulang dalam tingkatan yang berbeda”. RI tetaplah memusuhi rakyat Acheh, mungkin dapat kita katakana SBY-Kalla adalah musuh yang cukup bijaksana, akan tetapi siapa yang dapat menjamin perdamaian ketika rezim mereka turun atau dipaksa turun? Che Guevara mengatakan, Yakinkan diri kita untuk tidak pernah mempercayai Imperialisme. RI sebagai sistem adalah sebuah sistem yang fasis imperialis. Mussolini dari Italia dengan rezim fasisnya dahulu memiliki visi untuk membangun kembali imperium Romawi, sama halnya dengan Soekarno ketika membangun RI dulu, ia memiliki visi untuk mengembalikan kejayaan majapahit. Yang mereka klaim memiliki wilayah sampai ke Madagaskar.
Jangan pernah lupa, kalau dahulu belanda pun tak bosan-bosan untuk tetap menipu RI dengan berbagai trik semacam Uni Indonesia-Belanda, RIS dan sebagainya, begitupun RI mempelajari trik Belanda untuk menipu Acheh, untuk membuat rakyat Acheh melupakan tujuan hakiki perjuangan kita. Perdamaian hanyalah sub-ordinat dari cita-cita ratusan tahun perang kemerdekaan Acheh melawan imperialisme.
Kesejahteraan ekonomi, perdamaian tidak akan menyelesaikan persoalan rakyat Acheh, sama halnya yang terjadi dengan Taiwan, jika kesejahteraan ekonomi dan kemandirian dapat menyelesaikan persoalan tentu Taiwan tidak akan pernah lagi berbicara persoalan kemerdekaan politik dari China, kalau berbagai cara peningkatan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah AS di Irak dapat menyelesaikan persoalan, tentu pemberontakan rakyat Irak sudah lama berhenti. Harga diri sebuah bangsa tidak dapat ditukar dengan sebidang tanah dan gaji yang besar. Harga diri sebuah bangsa tidak dapat ditukar dengan berkibarnya bendera kita disamping bendera Negara Induk. Jika itu terjadi, maka maka kita bukan lagi sebuah bangsa. Rakyat Acheh adalah pemimpin bagi rakyat Acheh dan saya yakin rakyat Acheh akan setuju dengan hal itu. Soenarso seorang penyair radikal berkebangsaan Jawa mengatakan dalam sajaknya “kabar untuk sang anak”
“apakah aku harus memilih jalan diatas kebenaran ataukah kedamaian?
Ternyata aku memilih jalan kebenaran biarpun kebenaran
penuh darah dan nanah, Apalah artinya kedamaian, kalau kita
hanya menjadi budak? Tidak anakku, kalian tidak boleh
menjadi budak di negeri sendiri, mereka sengaja memberi
mimpi tentang kedamaian, sementara kebenaran telah
dirobek-robek, jiwa dan raga kita telah dicabik-cabik, terbuang
dalam lautan debu yang sangat hitam”
Kawan, kebenaran itu adalah pembebasan rakyat Acheh, kebenaran itu adalah perginya penjajah dari muka bumi Acheh, kebenaran itu adalah kemerdekaan bagi rakyat Acheh. Jika seorang bangsa Jawa sanggup memiliki sikap demikian, dan kita bangsa Acheh tidak, mungkin kita perlu berguru pada Soenarso.
Persetan dengan segala kompromi politik yang telah dan masih akan dibicarakan, saya disini hanya berusaha mengingatkan, bahwa mimpi kita belum terwujud! Jangan sampai kita melupakan itu, jangan sampai kita korbankan cita-cita pejuang kemerdekaan yang gugur di medan pertempuran. Mereka sudah cukup sakit hati dengan RI, jangan biarkan mereka sakit hati untuk kedua kali.
Jangan pernah mimpi bahwa Indonesia akan senang melihat Acheh damai, jangan pernah mimpi bahwa Indonesia akan tenang melihat Acheh memiliki kelebihan dengan sistem yang akan diterapkan di Acheh nanti, mengapa demikian? Pemerintahan Indonesia mewarisi dengan kental kultur pemerintahan primitive Mataram, dimana Sultan tidak senang apabila ada adipati punya status, kekayaan, kecerdasan yang lebih daripada Sultan sendiri. Sang sultan dengan segera akan melancarkan berbagai cara untuk menjatuhkan adipatinya, sebesar apapun jasa adipati tersebut kepada Sultan. Selama posisi Acheh masih Sub-ordinat dari Indonesia, maka selama itu Acheh masih tetap “adipati” dari “Sultan Indonesia”. Semoga fase damai ini tidak membuat kita mabuk kemenangan, ada baiknya kita memandang bahwa perdamaian ini hanyalah jalan lain menuju cita-cita Bangsa Acheh

*Artikel ini kutulis dalam kerisauan yang memuncak di tengah euforia yang rapuh.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home