"Udep Beusaree Mate Beusadjan Sikrek Gafan Saboh Keureunda" (Hidup Bersama, mati bersama dengan selembar kain kafan dalam satu keranda. Achehnese

Thursday, June 16, 2005

Ranjau-Ranjau Jelang Putaran ke-5Catatan dari Liputan Helsinki Reporter: Aboeprijadi S (Radio Nederland) -, 2005-06-14 09:31:03

Putaran ke-4 pembicaraan informal Aceh berakhir 31 Mei di Helsinki dengan optimisme yang jauh berkurang, dibanding sebelumnya. Suasana itu tergambar pada masing masing delegasi saat jumpa pers di ujung perhelatan. Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan Ketua CMI (Crisis Management Initiative), yang menengahi perundingan, April lalu menyebut putaran ke-3 sebagai ”breakthrough” (terobosan).

Tapi sekarang dia agak ragu, lalu secara diplomatis menamakan putaran ke-4 ini sebagai ”kelanjutan terobosan”.

Lain lagi kisah di Wisma Duta tempat delegasi Republik Indonesia (RI) menggelar jumpa pers. Di situ, tiga delegasi RI duduk berjejer: Ketua Delegasi Hamid Awaluddin berbusana jaket biru tua dan blue jeans saja—tapi berwajah paling serius—diapit Sofyan Djalil yang berstelan lengkap dengan dasi, dan lebih kalem. Sedangkan Farid Hussain, dokter periang yang juga berstelan lengkap itu, kini diam dan sunyi. Anggota keempat, Usman, yang selalu rendah hati, kini sama sekali tak tampak.

Tak kalah serius adalah jumpa pers Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Hotel Radisson SAS. Dua bosnya, Ketua Delegasi Malik Mahmud dan Zaini Abdullah, absen. Yang tampil: jurubicara Bakhtiar Abdullah diapit Mohammad Nur Djuli dan penasehat Damien Kingsbury. Di latar belakang terbentang bendera GAM yang merah manyala seperti bendera Turki.

Hanya Damien yang ’bergaya Aceh’, mengenakan kemeja sutera kuning muda berlengan panjang. ”Ini hadiah dari my brother Bakhtiar,” jelasnya kepada Radio Nederland. Sementara sang brother Bakhtiar membagi-bagikan lencana bermotif bendera GAM kepada wartawan Metro TV, El Shinta dan Kyodo.

Ahtisaari tegas, terus terang, tapi berhati-hati ketika menyentuh isu seperti soal partisipasi politik. Hamid berbicara singkat dan jelas, tapi menyembunyikan hal-hal yang belum disepakati. Sementara Sofyan berputar lidah panjang lebar. Di pihak GAM, ucapan standar Bakhtiar ”cautiously optimistic” (optimistis yang berhati-hati) membuat pers Finlandia bosan. Tapi Nur Djuli lebih tegas dan polos.

Maknanya: hasil Helsinki IV itu bermacam-macam konsekuensinya bagi masing masing pihak. Helsinki IV meningkat maju karena telah membahas beberapa soal seperti pemerintahan-sendiri, partisipasi politik, dan pengaturan keamanan secara substansial—bahkan rinci—dengan mendalaminya dalam kelompok-kelompok kecil. Namun justru karena menukik ke soal-soal peka itulah, maka semua pihak kini menyadari telah bertemu sejumlah isu yang dapat menjadi ranjau-ranjau dalam putaran ke-5, 12 Juli mendatang.

Ketegasan, kejelasan, dan kehati-hatian dalam sikap Ahtisaari (CMI), Hamid (RI) dan Nur Djuli (GAM) masing-masing punya nilai tersendiri.

Ranjau Itu
Martti Ahtisaari (CMI), selaku penengah perlu bersikap imbang, tapi sekaligus juga merintis sukses. Maka secara terbuka dia mengkonfirmasikan pertanyaan Radio Nederland tentang pengaturan keamanan. ”Benar,” katanya, ”kami membicarakan soal penarikan mundur tentara dan decomissioning (perlucutan senjata) gerilya dan milisi (pro-Jakarta).”

Uni Eropa sendiri belum memberikan komitmen untuk melakukan monitoring, namun mintoring itu disepakati merupakan suatu keharusan untuk menjamin pelaksanaan persetujuan, jika persetujuan tercapai.

Ahtisaari, meski berhati-hati, juga punya sikap yang jelas soal partisipasi politik. ”Kita harus menemukan jalan agar mereka (warga Aceh) yang ingin berpartisipasi politik dapat melakukan itu.” Tapi, tambahnya, ada pemahaman bahwa hal ini (maksudnya, partai-partai lokal Aceh) sulit dilaksanakan di bawah Undang-Undang RI yang sekarang. ”Ada filosofi perundang-undangan Indonesia bahwa mereka harus menjaga kesatuan dari negara kepulauan yang amat luas itu,” katanya. Tapi Ahtisaari menyimpulkan, jika hak-hak politik itu diwujudkan dalam partai-partai yang ada (partai nasional), ”maka itu tidak riil,” katanya.

Sebagaimana diketahui, dengan alasan bertentangan dengan produk hukum Indonesia, pemerintah menolak proposal GAM yang berniat mendirikan partai lokal guna mengikuti pemilihan umum lokal.

Hamid Awaluddin (RI), selaku pelaksana kebijakan Jakarta, juga perlu membawa oleh-oleh yang dapat diterima Jakarta. Maka dia lebih menekankan soal paket otonomi dan menjelaskan dengan rinci tentang pembagian wewenang Jakarta dan Aceh, terutama soal penyelenggaraan pemerintahan daerah dan bagi-hasil sumber daya alam.

Sementara tentang hubungan internasional, keamanan, moneter, hukum, dan agama akan tetap di tangan Jakarta. Itu artinya, pemerintahan daerah di Aceh berwenang mengelola kepegawaian, sumberdaya alam, pertanahan, kelautan (12 mil lepas pantai), dan investasi asing.

”Substansi ini dapat dipahami. Apakah ini namanya ’otonomi-khusus’ ataukah ’pemerintahan-sendiri’ itu soal semantik,” jelas Hamid. Tapi Hamid tak banyak berbicara soal partisipasi politik (partai atau pemilu lokal) dan pengaturan keamanan.

Sebaliknya, justru kedua hal terakhir itulah yang banyak dikemukakan oleh pihak GAM. Berbicara soal partisipasi politik dalam bentuk hak mendirikan partai-partai politik lokal, Nur Djuli menunjuk pada alasan prinsip bahwa partai politik adalah hak demokratis Aceh.

”Hanya dengan cara itu (memiliki partai partai politik lokal), Aceh dapat hidup dalam demokrasi. Tanpa itu, rakyat Aceh tak dapat memilih kepala daerah maupun pemerintahannya,” jelasnya.

Ini soal komposisi demografis, sebab Aceh tak mungkin punya partai politik sendiri jika harus mempunyai cabang di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia seperti ditetapkan Undang-Undang RI.

Singkatnya, ”Itu adalah bottom-line (batas akhir) kami, yes!,” tegas Nur Djuli.

”Jadi Anda menuntut hak istimewa?” tanya wartawan TV dari Indonesia.

”Lha, iya, kan Aceh itu daerah istimewa katanya. Kalau nggak, kami kan nggak ada di sini. Kan Soekarno bilang, Aceh itu modal, bukan?,” Nur Djuli balik bertanya secara retorik.

Lantas wakil pers Jakarta yang satu ini bertanya dengan nada nyaris menghakimi: ”Lha, kalau gitu, di mana rasa kebangsaan Anda?”

Nur Djuli menjawab pendek: ”Baca sejarah, dong!”.


Nur Djuli membenarkan jika hak sepenuhnya ada di tangan rakyat Aceh, maka ini secara teoretis bisa merugikan GAM juga. ”Kalau rakyat Aceh lebih suka partai-partai nasional, ya GAM harus nurut. Kalau partai-partai lokal nanti tak laku, ya kita harus hormati kehendak itu,” jelasnya.

Tentang soal pengaturan keamanan, Nur Djuli menjelaskan, ”yang penting bukan berapa tentara yang ditarik mundur, tapi berapa yang tersisa” di Aceh. Ini, jelas, merupakan silat lidah eufemistis untuk mengatakan hal yang sama.

Sedangkan Hamid berkomentar, ”Kami menyebutnya rasionalisasi,” artinya kehadiran satuan bersenjata (TNI dan Brimob) akan disesuaikan kebutuhan lokal. Perihal gerilya GAM, Nur Djuli membenarkan ”akan dilucuti”, sedangkan tentang milisi pro-Jakarta, ”itu bukan hanya dilucuti, tapi tidak dibenarkan ada,” katanya.

Dengan kata lain, kongkretnya, ada kesepakatan umum yang masih harus dirinci bahwa satuan-satuan TNI BKO (non-organik) dan Brimob harus dikurangi, dan GAM serta milisi-milisi bentukan militer, harus dilucuti.

Harus dicatat bahwa proses perdamaian Helsinki ini bertolak dari asas bahwa tak ada satu pun hal dapat disetujui sebelum semua hal dapat disetujui (”nothing is agreed until everything is agreed”) . Jadi, ini satu pendekatan ”all or nothing”. Hitam-putih.

Maka putaran ke-5 mulai 12 Juli yang akan datang, sepertinya akan memberikan kata final tentang semua hal –sengketa, perbedaan maupun persetujuan (common grounds)– yang dibahas selama ini.

Karena itu, penasihat GAM Damien Kingsbury dan Ketua Delegasi RI Hamid Awaluddin memperpanjang keberadaan mereka di Helsinki selama 2-3 hari untuk membantu Martti Ahtisaari menyusun resume (ringkasan) yang akan menjadi dasar bagi CMI untuk menyusun sebuah memorandum. Isi memorandum inilah yang akan di bahas dalam putaran mendatang, dengan hanya dua kemungkinan yaitu membuahkan persetujuan (all) atau gagal (nothing).

***

Jadi, hasil kesepakatan secara umum yang telah tercapai pada Helsinki ke-4 yang ditentang oleh sebagian politisi di DPR adalah sebagai berikut:

1) Substansi paket pemerintahan daerah, 2) perlunya monitoring oleh tim tidak bersenjata dari Uni Eropa dan ASEAN, 3) pengaturan keamanan dalam bentuk penyesuaian pasukan TNI sesuai kebutuhan setiap lokal (mungkin per kabupaten) dan perlucutan GAM dan milisi, 4) amnesti, reintegrasi bekas GAM ke dalam masyarakat Aceh, serta, 5) merintis penyelesaian hukum soal pelanggaran HAM oleh semua pihak.

Akan tetapi, ada rincian atau aspek dari kelima hal tersebut yang masih mungkin mengganjal seperti wewenang imigrasi (mengeluarkan visa) bagi pemerintah daerah yang dituntut GAM tapi ditolak RI. Juga ada soal nama baru, lambang, bendera, dan lagu bagi Aceh yang belum dirinci, masih menjadi sengketa atau belum tampak kesepakatan. GAM juga menganggap tanggal pemilihan kepala daerah (gubernur), yaitu Oktober 2005, terlampau cepat.

Mengenai hal-hal tersebut, Hamid Awaluddin, yang juga Menteri Kehakiman dan HAM, memperingatkan, semua itu, katanya, berarti ”harus mengubah undang-undang (UU Otonomi Khusus NAD) dan Anda tahu, mengubah UU di DPR zaman sekarang bukan main sulitnya. Bisa menelan waktu dua sampai tiga tahun.”

Begitu juga dengan penyelesaian hukum pelanggaran HAM. Sejumlah Konvensi Jenewa masih harus diratifikasi oleh DPR RI, berarti ini akan menuntut proses politik dan menelan waktu.

Perundingan Helsinki memang rumit karena selain melibatkan kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak yang bersangkutan, juga menyangkut materi hukum yang pelik. Pantas, Hamid bercerita, dia senang menghabiskan waktu istirahat siang dengan ”jalan-jalan di lapangan yang indah sekitar bungalow” Konigstedt di Vantaa tempat perundingan berlangsung. Itu pula sebabnya, dia senang melepas lelah dengan menyodokkan sepatunya ke mesin otomat semir sepatu, sambil bercakap-cakap ringan dengan Martti Ahtisaari, atau ”ngobrol-ngobrol” dengan Malik Mahmud.

Bahkan, saking pelik atau alotnya, Hamid nyeletuk bahwa dalam perundingan, dia seringkali dihadapkan pada tiga opsi: ”gebrak meja, menjadi pendengar yang baik, atau menjadi guru (menerangkan materi hukum).” Hamid mengaku selalu memilih dua opsi yang terakhir.

Tapi di situ pun, lanjutnya, dia seringkali merasa seperti harus berlayar di dua jalur: ”jalur untuk mencapai tujuan perundingan dan jalur yang tetap demi kepentingan negara dan bangsa.” Ini berarti pihak RI akan menghadapi ujian berat di Helsinki: harus berani berkompromi untuk mencapai perdamaian di Aceh.

Hal yang sama mutlak juga berlaku bagi GAM. Khususnya GAM harus berkompromi soal visa, tanggal pilkada, nama, lambang, dan lagu tadi.

Tapi, paling hakiki dan krusial, adalah: GAM dan RI harus menemukan cara agar hak-hak legitimasi rakyat Aceh untuk berpolitik dalam kepartaian lokal, dapat dipenuhi. Semua itu, terutama soal partai lokal, dapat menjadi ranjau-ranjau dalam putaran ke-5 di Helsinki, 12 Juli.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home